Menggagas Pendidikan Liberatif
Pendidikan adalah elan vital dalam pembangunan manusia sebuah bangsa. Dari pendidikanlah akan lahir generasi bangsa yang akan membangun atau menghancurkan sebuah negeri. Oleh karenanya tidak heran jika sejak dahulu para pejuang kemerdekaan menyadari betul urgensi pendidikan dalam rangka pembangunan bangsa (Nation Building), Ki Hajar Dewantara telah menggagas Taman Siswa sebagai tempat persemaian para kader pejuang bangsa kelak, Kiai Dahlan mendirikan Muhammadiyah yang sangat concern terhadap pendidikan untuk mencerdaskan umat Islam dan masih banyak contoh lagi untuk menunjukan betapa seriusnya para pendahulu kita memikirkan nasib anak bangsa melalui pendidikan. Sejak dahulu para tokoh pelopor perubahan selalu berasal dari strata sosial yang mengenyam pendidikan dengan baik, para pejuang revolusi kemerdekaan mayoritas berasal dari kelas pribumi yang mengenyam pendidikan tinggi oleh Belanda. Ini menunjukan bahwa betapa fundamentalnya peran pendidikan dalam menentukan arah sebuah bangsa.
Akhir akhir ini diskursus mengenai pendidikan nasional kembali menghangat setelah kita kembali menggelar hajat nasional pendidikan untuk kesekian kali, Ujian Nasional kembali diselengarakan dalam jangka dua minggu ini untuk Sekolah Menengah Umum(SMU)/Sederajat dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan sederajat. Namun jauh jauh hari sebelum UN digelar atmosfer pendidikan di sejumlah sekolah sudah terlanjur memanas, sejumlah sekolah mulai sibuk mengadakan ‘ritual rutin’ menjelang UN, seperti doa bersama, training motivasi ESQ hingga ziarah ke makam wali. Umumnya oleh para penyelenggara pendidikan rangkaian acara di atas diyakini dapat membuat kondisi psikologis siswa lebih tenang sehingga mempermudah dalam mengerjakan soal saat Ujian Nasional, namun seringkali praktiknya di lapangan justru menimbulkan ‘histeria’ massa, disejumlah sekolah acara doa bersama diwarnai oleh insiden pingsannya beberapa siswa, teriakan tangis yang berlebihan hingga malah membuat ketakutan siswa semakin menjadi jadi. Kejadian di atas belum ditambah dengan sejumlah histeria lain yang diprediksi akan kembali hadir saat dan sesudah Ujian Nasional berlangsung.
Ironi dalam menyambut momen evaluasi pendidikan nasional di atas harus direnungkan kembali oleh kita, belakangan Ujian Nasional telah berubah menjadi ‘Hari Stres Nasional’. Tindakan membuka Posko Pengaduan UN oleh kementerian pendidikan nasional juga bukan solusi yang tepat, tidak menyelesaikan akar masalah dan justru semakin menegaskan adanya ‘kekisruhan rutin’ setiap penyelenggaraan Ujian Nasional. Kekisruhan menjelang, saat dan sesudah UN hanya merupakan fenomena Gunung Es persoalan yang terjadi pada sistem pendidikan kita. Ada banyak masalah lain yang berkelindan dalam dunia pendidikan kita. Mulai dari persoalan hard factor (infrastruktur pendidikan) dan soft factor seperti sistem dan metode pengajaran di sekolah. Untuk Hard Factor nampaknya telah jelas di pelupuk kita ketika masih ada saja pemberitaan sekolah ambruk di media massa, sedangkan Soft Factor belum banyak diangkat. Padahal sistem dan metode pengajaran dunia pendidikan kita belum banyak berubah sejak dahulu, meski telah digagas sejumlah perubahan paradigma sistem pengajaran yang lebih berorientasi pada siswa, namun nampaknya itu semua belum cukup untuk membebaskan anak anak bangsa dari segala belenggu keterbelakangan.
Pendidikan seperti di katakan pejuang kemanusiaan asal Brasil Paulo Freire, setidaknya harus mampu melakukan dua hal, pertama menjalankan tugasnya untuk memanusiakan kembali manusia (humanisasi) dan kedua membebaskan dari segala keterbelakangan (liberasi). Pernyataan Freire ini sejalan dengan apa yang kita yakini bersama bahwa pendidikan adalah eskalator martabat bangsa yang paling efektif. Beralih kembali ke konteks dunia pendidikan kita saat ini. Nampaknya metode pendidikan yang digunakan di sekolah sekolah kita masih jauh dari apa yang kita cita citakan bersama. Wajah pendidikan kita masih menampakkan wajah ‘kolonial’ nya yang merepresi siswa, monolitik dan membelenggu kreativitas siswa. Ruang ruang kelas saat ini belum mampu menghadirkan atmosfer yang kondusif bagi pembelajaran, guru masih menjadi pusat kegiatan pembelajaran dan sumber pengetahuan utama, sementara murid masih juga di anggap serba tidak tahu dan bodoh. Model pengajaran seperti ini belum banyak berubah sejak dahulu, meski berkali kali gonta ganti kurikulum.
Sistem dan model pendidikan di atas tidak layak dipertahankan lagi mengingat kondisi sosiologis siswa yang jauh berbeda. Era keterbukaan membuat setiap orang dapat mengakses informasi darimanapun, kapanpun dan tidak terbatas, sumber sumber informasi begitu beragam dan mudah diakses. Siswa saat ini sudah memiliki Stock Of Knowledge yang mereka peroleh dari berbagai sumber pengetahuan. Sehingga dengan kondisi yang demikian tidak mungkin lagi siswa diposisikan hanya sebagai sub-ordinat dan objek dalam sistem dan model pengajaran pendidikan kita, sudah seharusnya siswa diposisikan sebagai Sparing Partner bagi para pendidiik, sebagai teman berdiskusi dan berdialog. Siswa harus ditempatkan dalam tata relasi yang lebih seimbang dalam proses pembelajaran, prinsip prinsip egaliterian dan demokrasi harus menjadi unsur penting dalam membangun pola relasi antara pendidik dan terdidik. Dengan pola relasi yang lebih seimbang maka ruang ruang dialog kritis akan terbuka dengan sendirinya, dalam ruang dialog kritis inilah pendidik dan terdidik saling berdialektika, berargumentasi dan merefleksikan realitas kehidupan. Dialog kritis inilah yang akan menyadarkan pendidik dan terididik akan realitas kehidupan mereka, merefleksikannya dan menstimulus untuk melakukan pembebasan dari segenap persoalan dalam realitas kehidupan. Proses pembelajaran ini mengedepankan sikap kritis-reflektif dalam membangun kesadaran untuk melakukan proses humanisasi dan liberasi, tujuan akhir dari pendidikan. Dalam konteks pembangunan bangsa (nation building) ke depan kita perlu segera menggagas pendidikan liberatif sebuah model alternatif sistem pendidikan, suatu pendekatan pendidikan yang lebih liberatif.
Mohammad Zaki Arrobi
Pembelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar