Selasa, 25 Desember 2012

“Belajar (Menjadi) Ideologis dari Film Lentera Merah”


“Belajar (Menjadi) Ideologis dari Film Lentera Merah”
Film Lentera Merah  mengambil tema sentral yang sedang digandrungi masyarakat kita, mistik. Namun bukan sembarang cerita mistik murahan seperti yang banyak diumbar oleh para produser pengejar rupiah yang kering pemaknaan dan sama sekali tidak mengedukasi publik. Film Lentera Merah hadir dengan mengais dan mencoba menyegarkan memori kita kembali akan banyak tragedi kemanusiaan di seputar historisme bangsa kita yang kini menginjak usia 67 tahun. Film ini mengisahkan lembaga pers mahasiswa Universitas Nasional Indonesia bernama ‘Lentera Merah’, pers mahasiswa ini dikenal sebagai pers mahasiswa legendaris yang senantiasa kritis dan radikal terhadap kebijakan kebijakan rezim Orde Baru, tak heran pers ini sempat mengalami pembredelan sebelum kemudian era reformasi membuka tabir kebebasan pers dan berpendapat.
Pers Lentera Merah memiliki slogan “Selalu Berpihak pada Kebenaran”, slogan yang teramat keramat dan sakti bagi siapapun yang mendengarnya. Bagi para punggawa Lentera Merah (LM) slogan “Selalu berpihak pada Kebenaran” memberi semacam kebanggaan dan tekad luar biasa untuk senantiasa mendobrak batas batas kemapanan dalam segala bentuk. Film ini diawali dengan romantika perekrutan terbuka LM bagi anggota anggota baru, LM sangat ketat dan kompetitif dalam menjaring calon anggotanya sehingga selain dengan penugasan kelompok LM mengadakan apa yang disebut sebagai “Malam Inisiasi” bagi calon calon anggota baru. Malam Inisiasi adalah tradisi turun temurun dalam soal perkaderan anggota baru di LM. Disinilah kisah itu dimulai, diceritakan Iqbal selaku Pimred LM menaksir seorang calon anggota baru bernama Risa, namun teman teman Iqbal merasa ada sesuatu yang janggal dengan penampilan Risa yang dingin dan kaku. Risa yang berpembawaan tenang dan dingin perlahan juga mulai menyadari keterancaman eksistensi dirinya dari kakak kakak angkatan nya di LM. Secara misterius satu persatu pengurus inti LM meninggal dengan cara yang janggal, dan puncaknya di malam inisiasi seluruh pengurus inti LM telah terbunuh secara misterius. Singkat cerita ternyata Risa adalah arwah penasaran dari masa lalu, Risa adalah pengurus inti LM angkatan 1965 yang dikenal kritis-radikal berhaluan ke kiri kirian. Pada saat Risa aktif di Lentera Merah, dia dituduh oleh Dewan Alumni LM sebagai antek PKI,sehingga dia harus disingkirkan.  Saat itu situasi bangsa tengah gonjang ganjing akibat terkena gempa politik peristiwa malam satu Oktober, seluruh elemen yang tercium berafiliasi dengan PKI menjadi pesakitan sejarah yang diburu untuk dihabisi dengan cara cara yang tak manusiawi. Risa akhirnya tewas secara mengenaskan akibat perlakuan Dewan Alumni, namun yang ironis teman teman sesama pengurus LM justru ketakutan dan menyembunyikan mayat Risa di sekretariat LM, menguburnya tanpa pernah memberi tahu siapapun. Bersama jasad Risa para pengurus Lentera Merah ikut serta mengubur kebenaran yang selama ini mereka perjuangkan.
Saya tidak akan terlalu membahas kronologi alur film di atas karena mungkin sudah banyak diketahui umum. Namun yang ingin saya sampaikan disini adalah betapa tragedi kemanusiaan dengan tajuk kekuasaan membungkam kebenaran telah  menjadi catatan hitam lembar sejarah bangsa kita. Betapa Risa menjadi potret kecil akan limbungnya suara kebenaran jika berhadapan dengan hegemoniknya rezim penguasa. Risa yang dikenal sebagai mahasiswa kritis-radikal yang banyak menyuarakan suara suara pembebasan membela kaum petani dan marginal, Risa dikenal sering menulis artikel artikel yang membongkar kebusukan tentara yang menghabisi petani petani didesanya justru dianggap sebagai parasit berbahaya yang dapat menularkan virus mematikan berlabel ‘komunsime’. Mengapa hanya memiliki pandangan pandangan Marxis Risa kemudian lantas ‘disingkirkan’ dari organisasi yang digelutinya, mengapa hanya karena membela nasib kaumnya (kaum tani) seseorang layak dihabisi nyawanya..? Saya membayangkan jika hidup di zaman itu, ada apa dengan komunisme..? apa salah saya menjadi seorang komunis..?.. Bukankah komunisme adalah fakta sejarah dalam lembar perjuangan bangsa kita, bukankah gerakan komunisme adalah gerakan yang paling progresif dalam perjuangan antikolonialisme dan antifeodalisme, dua paham yang telah mencengkeram bangsa kita selama ratusan tahun. Komunisme sebagai gerakan politik dan ideologi telah hadir sejak zaman pra kemerdekaan, bahkan komunisme lahir dari rahim organisasi Islam terbesar dan pertama di Indonesia, Serikat Islam. Maka menjadi tidak relevan mengasosiasikan komunisme identik dengan ateisme. Dahulu seorang pemuka agama terkemuka bernama Haji Misbach juga seorang komunis, namun dia tetap menjadi seorang theis (muslim) yang taat. Apalagi jika kita menelisik riwayat hidup Tan Malaka, siapa yang tak kenal Tan Malaka, revolusionis sejati dan bapak republik ini adalah mantan ketua Partai Komunis pertama di Hindia Belanda, namun dia berpendidikan agama yang kuat dan tetap menjadi theis, Tan terkenal dengan ucapannya bahwa “dihadapan Tuhan saya seorang Muslim, namun dihadapan manusia saya seorang komunis”. Sangat ironis jika di abad kemanusiaan dengan dengung dengung persamaan, kebebasan dan persaudaraan masih kita dapati kekerasan akibat perbedaan ideologi hidup, yang agamis menghina kubu liberalis, yang liberalis mengolok ngolok kaum konservatif, yang konservatif menghina kubu revolusioner dan seterusnya begitu, Bisakah kita hidup bersama sama dengan tanpa melihat isi kepala dan pikiran orang lain dan hanya menjadikan tindakan dan sikap sebagai tolak ukur kebaikan dan keburukan sesuatu. Biarkan ideologi terus tumbuh, berkembang, meluap luap dan meledak dalam pikiran pikiran manusia manusia merdeka itu, sebab hanya manusia terpenjara sajalah yang tak berani memelihara ideologi dalam kepalanya..
Refleksi setelah menonton film Lentera Merah, 23.03. 1 Februari 2012
Kota Tegal, Jawa Tengah
Pusat Radikalisme Jawa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar