“Belajar (Menjadi) Ideologis dari Film Lentera Merah”
Film
Lentera Merah mengambil tema sentral
yang sedang digandrungi masyarakat kita, mistik. Namun bukan sembarang cerita
mistik murahan seperti yang banyak diumbar oleh para produser pengejar rupiah
yang kering pemaknaan dan sama sekali tidak mengedukasi publik. Film Lentera
Merah hadir dengan mengais dan mencoba menyegarkan memori kita kembali akan
banyak tragedi kemanusiaan di seputar historisme bangsa kita yang kini
menginjak usia 67 tahun. Film ini mengisahkan lembaga pers mahasiswa
Universitas Nasional Indonesia bernama ‘Lentera Merah’, pers mahasiswa ini
dikenal sebagai pers mahasiswa legendaris yang senantiasa kritis dan radikal
terhadap kebijakan kebijakan rezim Orde Baru, tak heran pers ini sempat
mengalami pembredelan sebelum kemudian era reformasi membuka tabir kebebasan
pers dan berpendapat.
Pers
Lentera Merah memiliki slogan “Selalu Berpihak pada Kebenaran”, slogan yang
teramat keramat dan sakti bagi siapapun yang mendengarnya. Bagi para punggawa
Lentera Merah (LM) slogan “Selalu berpihak pada Kebenaran” memberi semacam
kebanggaan dan tekad luar biasa untuk senantiasa mendobrak batas batas
kemapanan dalam segala bentuk. Film ini diawali dengan romantika perekrutan
terbuka LM bagi anggota anggota baru, LM sangat ketat dan kompetitif dalam
menjaring calon anggotanya sehingga selain dengan penugasan kelompok LM
mengadakan apa yang disebut sebagai “Malam Inisiasi” bagi calon calon anggota
baru. Malam Inisiasi adalah tradisi turun temurun dalam soal perkaderan anggota
baru di LM. Disinilah kisah itu dimulai, diceritakan Iqbal selaku Pimred LM
menaksir seorang calon anggota baru bernama Risa, namun teman teman Iqbal
merasa ada sesuatu yang janggal dengan penampilan Risa yang dingin dan kaku.
Risa yang berpembawaan tenang dan dingin perlahan juga mulai menyadari
keterancaman eksistensi dirinya dari kakak kakak angkatan nya di LM. Secara
misterius satu persatu pengurus inti LM meninggal dengan cara yang janggal, dan
puncaknya di malam inisiasi seluruh pengurus inti LM telah terbunuh secara
misterius. Singkat cerita ternyata Risa adalah arwah penasaran dari masa lalu,
Risa adalah pengurus inti LM angkatan 1965 yang dikenal kritis-radikal berhaluan
ke kiri kirian. Pada saat Risa aktif di Lentera Merah, dia dituduh oleh Dewan
Alumni LM sebagai antek PKI,sehingga dia harus disingkirkan. Saat itu situasi bangsa tengah gonjang
ganjing akibat terkena gempa politik peristiwa malam satu Oktober, seluruh
elemen yang tercium berafiliasi dengan PKI menjadi pesakitan sejarah yang
diburu untuk dihabisi dengan cara cara yang tak manusiawi. Risa akhirnya tewas
secara mengenaskan akibat perlakuan Dewan Alumni, namun yang ironis teman teman
sesama pengurus LM justru ketakutan dan menyembunyikan mayat Risa di
sekretariat LM, menguburnya tanpa pernah memberi tahu siapapun. Bersama jasad
Risa para pengurus Lentera Merah ikut serta mengubur kebenaran yang selama ini
mereka perjuangkan.
Saya
tidak akan terlalu membahas kronologi alur film di atas karena mungkin sudah
banyak diketahui umum. Namun yang ingin saya sampaikan disini adalah betapa
tragedi kemanusiaan dengan tajuk kekuasaan membungkam kebenaran telah menjadi catatan hitam lembar sejarah bangsa
kita. Betapa Risa menjadi potret kecil akan limbungnya suara kebenaran jika
berhadapan dengan hegemoniknya rezim penguasa. Risa yang dikenal sebagai
mahasiswa kritis-radikal yang banyak menyuarakan suara suara pembebasan membela
kaum petani dan marginal, Risa dikenal sering menulis artikel artikel yang
membongkar kebusukan tentara yang menghabisi petani petani didesanya justru
dianggap sebagai parasit berbahaya yang dapat menularkan virus mematikan
berlabel ‘komunsime’. Mengapa hanya memiliki pandangan pandangan Marxis Risa
kemudian lantas ‘disingkirkan’ dari organisasi yang digelutinya, mengapa hanya
karena membela nasib kaumnya (kaum tani) seseorang layak dihabisi nyawanya..? Saya
membayangkan jika hidup di zaman itu, ada apa dengan komunisme..? apa salah
saya menjadi seorang komunis..?.. Bukankah komunisme adalah fakta sejarah dalam
lembar perjuangan bangsa kita, bukankah gerakan komunisme adalah gerakan yang
paling progresif dalam perjuangan antikolonialisme dan antifeodalisme, dua paham
yang telah mencengkeram bangsa kita selama ratusan tahun. Komunisme sebagai
gerakan politik dan ideologi telah hadir sejak zaman pra kemerdekaan, bahkan
komunisme lahir dari rahim organisasi Islam terbesar dan pertama di Indonesia,
Serikat Islam. Maka menjadi tidak relevan mengasosiasikan komunisme identik
dengan ateisme. Dahulu seorang pemuka agama terkemuka bernama Haji Misbach juga
seorang komunis, namun dia tetap menjadi seorang theis (muslim) yang taat.
Apalagi jika kita menelisik riwayat hidup Tan Malaka, siapa yang tak kenal Tan
Malaka, revolusionis sejati dan bapak republik ini adalah mantan ketua Partai
Komunis pertama di Hindia Belanda, namun dia berpendidikan agama yang kuat dan
tetap menjadi theis, Tan terkenal dengan ucapannya bahwa “dihadapan Tuhan
saya seorang Muslim, namun dihadapan manusia saya seorang komunis”. Sangat
ironis jika di abad kemanusiaan dengan dengung dengung persamaan, kebebasan dan
persaudaraan masih kita dapati kekerasan akibat perbedaan ideologi hidup, yang agamis
menghina kubu liberalis, yang liberalis mengolok ngolok kaum konservatif, yang
konservatif menghina kubu revolusioner dan seterusnya begitu, Bisakah kita
hidup bersama sama dengan tanpa melihat isi kepala dan pikiran orang lain dan
hanya menjadikan tindakan dan sikap sebagai tolak ukur kebaikan dan keburukan
sesuatu. Biarkan ideologi terus tumbuh, berkembang, meluap luap dan meledak
dalam pikiran pikiran manusia manusia merdeka itu, sebab hanya manusia
terpenjara sajalah yang tak berani memelihara ideologi dalam kepalanya..
Refleksi setelah
menonton film Lentera Merah, 23.03. 1 Februari 2012
Kota Tegal, Jawa Tengah
Pusat Radikalisme Jawa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar