Selasa, 25 Desember 2012

Minggu Pagi di Victoria Park


Wacana Postkolonial dalam Film Minggu Pagi di Victoria Park
Studi studi postkolonial dalam diskursus akademik internasional sebagai sebuah bangunan pengetahuan (body of knowledge) sesungguhnya relatif belum lama dikembangkan oleh para pemikirnya. Apabila terbitnya karya Edward Said berjudul “Orientalisme” dan munculnya kelompok subaltern studies group di India pada tahun 1980 an dijadika pijakan ‘kelahiran’ studi studi postkolonial, maka usia nya baru sekitar 3 dasawarsa. Dalam usia yang masih sangat muda ini diskursus postkolonial banyak mendapat tentangan dan tantangan dari berbagai pihak. Namun studi postkolonial tetap menjadi kajian yang banyak menarik minat akademisi di negara negara dunia ketiga, terutama digunakan untuk membongkar struktur dan relasi kuasa yang dominatif-opresif selama dan sesudah kolonialisme membelenggu negara negara mereka.
Penggunaan terminologi ‘post’ dibandingkan dengan ‘pasca’ sesungguhnya syarat akan pemaknaan dan interpretasi yang kompleks akan konsekuensi konsekuensi nya, terminologi post mengandung makna melampaui “beyond”, dibandingkan dengan setelah ‘after’, postkolonialisme juga mengandung makna bahwa ada continuing effects yang ditinggalkan selama dan setelah kolonialisme bangsa bangsa barat atas bangsa timur. Postkolonialisme meruju pada kenyataan bahwa penguasaan bangsa bangsa barat atas negeri negeri jajahannya tidak hanya sebatas pada aspek fisik dan militer saja, namun lebih luas lagi dimensi dan spektrum penguasaannya, yakni pada aspek ideologi, politik, budaya, sastra bahkan agama sekalipun. Menurut Gramsci, penguasaan pada aspek fisik dilakukan secara langsung sarana militer disebut dominasi, sedangkan penguasaan secara sukarela yang dilakukan dengan ‘penaklukan’ ideologi, politik, agama dan budaya kelas tertindas disebut ‘hegemonig’. Negara negara kolonialis melakukan dominasi dan hegemoni secara bersamaan pada bangsa bangsa jajahannya, dengan begitu warisan kolonialisme pada tanah tanah jajahannya pun berada pada semua dimensi, termasuk struktur mental, budaya, agama hingga politik.
Studi studi postkolonial menekankan pada continuing effect kolonialisme pada masyarakat bekas jajahan. Sikap dan konstruksi berpikir masyarakat bekas jajahan terhadap barat (kolonial) dan terhadap konstruksi identitas dirinya. Masyarakat bekas jajahan seringkali mengkonstruksi barat sebagai negeri kolonialis, penindas dan simbol kejahatan kemanusiaan dan moralitas, namun disisi lain mereka juga diam diam ‘memuja’ barat sebagai simbol kemajuan, kemodernan, dan sebagai arah pembangunan bangsa mereka. Sedangkan masyarakat negeri kolonialis mengkonstruksikan timur sebagai simbol keterbelakangan, kejumudan, tradisi dan anti rasionalitas, namun di sisi lain mereka juga memandang timur sebagai simbol eksotisme, ‘jauh’ dan unik sehingga harus ditaklukkan. Sikap yang demikian dalam studi postkolonial disebut sebagai sikap “Ambivalen”, di satu sisi mengutuk namun disisi lain ‘memuja’, relasi ini memendam semacam rasa benci tapi rindu.
Penjelasan akan ambivalensi (dengan segala konsep kunci seperti mimikri, hibriditas, representasi dll) dijelaskan oleh para teoritisi postkolonial seperti Hommy Babha, Franz Fannon, Bill Achroft dll. Menurut Babha mimikri adalah praktek dimana orang yang dijajah menulis kembali wacana kolonial yang dipaksakan kepada mereka, sehingga berbaur dengan wacana mereka sendiri. Dari sini sebenarnya identitas warga postkolonial adalah identitas yang hibrid dan pada dasarnya orang yang dikoloni sedang melakukan dekonstruksi terhadap wacana itu. Sedangkan Hibriditas dalam konteks postkolonial mengacu pada proses dimana orang-orang yang dikoloni berusaha menyingkap wacana postkolonial yang beraneka ragam. Selama ini wacana postkolonial selalu menganggap bahwa orang yang dikoloni adalah orang yang selalu meniru (mimikri) padahal sebenarnya mereka sedang mencampurkan wacana kolonial dengan ide mereka (hibrid).
Dalam menganalisis film Minggu Pagi di Victoria Park penulis akan banyak menggunakan konsep konsep kunci di atas. Film yang bernarasikan pergulatan Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Hongkong ini sesungguhnya banyak menyimpan ‘rahasia’ postkolonial yang harus ‘dibongkar’ dengan konsep kunci ambivalensi. Seperti dikisahkan di atas keluarga Mayang dan Sekar sesungguhnya adalah representasi dari masyarakat terjajah (colonized) yang bergulat dengan struktur politik, ekonomi, dan budaya warisan kolonial. Salah satunya bisa kita potret dari sikap ayah Mayang yang memandang ‘luar negeri’ sebagai ‘tanah harapan’ bagi keberlangsungan keluarganya, luar negeri dianggap mampu mengangkat harkat dan martabat keluarga karena sokongan ekonomi nya. Pandangan demikianlah yang ‘memaksa’ Sekar untuk pergi meninggalkan tanah air menuju negeri asing dengan harapan akan kehidupan yang lebih baik. Struktur mental yang demikian sesungguhnya adalah warisan mental inlander masyarakat terjajah yang selalu menganggap pihak lain (barat/eksternal) memiliki superisositas dan menganggap dirinya inferior.
Dalam film ‘Minggu Pagi di Victoria” juga dapat kita temukan kompleksitas persoalan kekerasan yang dihadapi buruh migran kita. Kekerasan yang dialami tidak berhenti pada kekerasan fisik semata, namun juga kekerasan psikologis, simbolik dan budaya. Kekerasan juga tidak hanya dilakukan oleh masyarakat negeri tujuan sebagai kelas penindas (majikan) namun juga dilakukan oleh masyarakat dalam kelas tertindas (keluarga korban). Dalam kajian postkolonial ini disebut ambivalensi, dimana pihak tertindas secara tidak sadar juga melakukan apa yang mereka sendiri kecam, yakni penindasan. Contoh dalam film ini adalah apa yang dialami Mayang dan Sekar dalam sebuah keluarga kecil di pelosok Jawa. Digambarkan bahwa Sekar yang mempunyai kecantikan dan kecerdasan di atas rata rata gadis desa dijadikan ‘alat’ oleh keluarganya untuk memperbaiki kehidupan ekonomi mereka, dengan menjadi TKW di negeri orang keluarga Sekar mendapat perbaikan kehidupan. Sementara kekerasan psikis dialami oleh Mayang, Mayang yang secara secara fisik tidak serupawan adiknya harus menjalani masa masa suram dalam keluarganya, dia diremehkan dan selalu dibanding bandingkan dengan Sekar hanya karena dia tidak bisa pergi ke luar negeri menjadi TKW, sementara pekerjaannya sebagai buruh di pabrik tebu tidak pernah dihargai oleh ayahnya. Akibatnya Mayang tanpa sadar memupuk perasaan dendam dan iri terhadap saudaranya sendiri.
Film ini juga menyajikan potret menarik kehidupan para pahlawan devisa di negeri asing. Lika liku kehidupan keseharian buruh migran di negeri asing ini dapat kita ‘baca’ dengan perspektif poskolonial. Menarik misalnya melihat bagaimana para Tenaga Kerja Wanita di Hongkong dalam film itu digambarkan memiliki komunitas dan tempat nongkrong tersendiri di salah satu pusat kota, mereka biasa saling bertemu dan berbagi keluh kesah tentang pekerjaan, keluaga majikannya, hingga pacar mereka. Salah satu yang menarik adalah perubahan gaya hidup dan selera konsumsi mereka selama di negeri asing.
Dalam film ini digambarkan bagaimana para buruh migran perempuan ini mulai menjadi ‘manusia modern’, minimal dari penampilan fisik mereka. Mereka mengenakan celana jins, tank top dan rompi, sementara sebagian yang lain banyak yang mengecat rambut mereka, memasang anting di mulut dan merokok menjadi kebiasaan. Perilaku mereka dalam meniru gaya hidup, mode pakaian dan selera konsumsi masyarakat negara maju hakikatnya sedang mengidentifikasikan identitas baru mereka sebagai ‘manusia modern’ dan mencoba membunuh identitas lama mereka sebagai ‘warga kelas dua’ di negeri asing. Namun dalam proses meniru ini terdapat sebuah ambivalensi seperti layaknya konsep mimikri nya Hommy Babha, proses meniru menurut Babha tidak hanya bersifat melanggengkan dominasi namun di saat yang bersamaan juga berusaha menegasikan dominasi tersebut. Artinya meniru juga mengandung makna mengejek dan mendifferensiasikan dirinya dengan yang ditiru. Dalam konteks perilaku para buruh migran wanita di film Minggu Pagi di Victoria Park dapat dikategorikan sebagai perilaku mimikri, mereka meniru dan berusaha mengidentifikasikan diri sesuai citra manusia modern dengan mengikuti gaya berpakaian, gaya hidup, dan penampilan fisik yang lain, namun perilaku mereka justru masih mempertahankan karakter karakter tradisional mereka, seperti suka bergosip dan mengobrol sesama migran, dan masih suka menggunakan kata kata kasar dari negara asal, seperti terlihat dari salah satu adegan saat Sekar bertengkar dengan temannya dan diakhir percakapan Sekar mengumpat temannya dengan sebutan “Jancuk”, sebuah umpatan khas Jawa Timuran. Proses proses di atas menunjukan bahwa meski mereka telah merombak total penampilan dan gaya hidup mereka hingga identik dengan apay yang mereka sebut citra manusia modern, namun hakikatnya struktur mental dan kesadaran mereka masih berada dalam bayangan identitas tradisional dan sebagai masyarakat terjajah (colonized) yang mudah mengimitasi apapun dari bangsa penjajah (colonizer). Dalam konteks ini sesungguhnya mereka tidak hanya meniru (imitasi) namun juga ada unsur mengejek (mockey), tidak hanya melanggengkan dominasi budaya namun juga berusaha menegasikan dominasi kultural itu. Akibatnya konstruksi identitas buruh migran pada film ini adalah perpaduan antara citra modernitas penampilan dan tradisionalitas sikap, sebuah identitas hibrid. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar