Wacana
Postkolonial dalam Film Minggu Pagi di Victoria Park
Studi
studi postkolonial dalam diskursus akademik internasional sebagai sebuah
bangunan pengetahuan (body of knowledge) sesungguhnya relatif belum lama
dikembangkan oleh para pemikirnya. Apabila terbitnya karya Edward Said berjudul
“Orientalisme” dan munculnya kelompok subaltern studies group di India
pada tahun 1980 an dijadika pijakan ‘kelahiran’ studi studi postkolonial, maka
usia nya baru sekitar 3 dasawarsa. Dalam usia yang masih sangat muda ini
diskursus postkolonial banyak mendapat tentangan dan tantangan dari berbagai
pihak. Namun studi postkolonial tetap menjadi kajian yang banyak menarik minat
akademisi di negara negara dunia ketiga, terutama digunakan untuk membongkar
struktur dan relasi kuasa yang dominatif-opresif selama dan sesudah
kolonialisme membelenggu negara negara mereka.
Penggunaan
terminologi ‘post’ dibandingkan dengan ‘pasca’ sesungguhnya syarat akan
pemaknaan dan interpretasi yang kompleks akan konsekuensi konsekuensi nya, terminologi
post mengandung makna melampaui “beyond”, dibandingkan dengan setelah ‘after’,
postkolonialisme juga mengandung makna bahwa ada continuing effects yang
ditinggalkan selama dan setelah kolonialisme bangsa bangsa barat atas bangsa
timur. Postkolonialisme meruju pada kenyataan bahwa penguasaan bangsa bangsa
barat atas negeri negeri jajahannya tidak hanya sebatas pada aspek fisik dan
militer saja, namun lebih luas lagi dimensi dan spektrum penguasaannya, yakni
pada aspek ideologi, politik, budaya, sastra bahkan agama sekalipun. Menurut
Gramsci, penguasaan pada aspek fisik dilakukan secara langsung sarana militer
disebut dominasi, sedangkan penguasaan secara sukarela yang dilakukan dengan
‘penaklukan’ ideologi, politik, agama dan budaya kelas tertindas disebut
‘hegemonig’. Negara negara kolonialis melakukan dominasi dan hegemoni secara
bersamaan pada bangsa bangsa jajahannya, dengan begitu warisan kolonialisme
pada tanah tanah jajahannya pun berada pada semua dimensi, termasuk struktur
mental, budaya, agama hingga politik.
Studi
studi postkolonial menekankan pada continuing effect kolonialisme pada
masyarakat bekas jajahan. Sikap dan konstruksi berpikir masyarakat bekas
jajahan terhadap barat (kolonial) dan terhadap konstruksi identitas dirinya.
Masyarakat bekas jajahan seringkali mengkonstruksi barat sebagai negeri
kolonialis, penindas dan simbol kejahatan kemanusiaan dan moralitas, namun
disisi lain mereka juga diam diam ‘memuja’ barat sebagai simbol kemajuan,
kemodernan, dan sebagai arah pembangunan bangsa mereka. Sedangkan masyarakat
negeri kolonialis mengkonstruksikan timur sebagai simbol keterbelakangan,
kejumudan, tradisi dan anti rasionalitas, namun di sisi lain mereka juga
memandang timur sebagai simbol eksotisme, ‘jauh’ dan unik sehingga harus ditaklukkan.
Sikap yang demikian dalam studi postkolonial disebut sebagai sikap “Ambivalen”,
di satu sisi mengutuk namun disisi lain ‘memuja’, relasi ini memendam semacam
rasa benci tapi rindu.
Penjelasan
akan ambivalensi (dengan segala konsep kunci seperti mimikri, hibriditas,
representasi dll) dijelaskan oleh para teoritisi postkolonial seperti Hommy
Babha, Franz Fannon, Bill Achroft dll. Menurut Babha mimikri adalah praktek
dimana orang yang dijajah menulis kembali wacana kolonial yang dipaksakan
kepada mereka, sehingga berbaur dengan wacana mereka sendiri. Dari sini
sebenarnya identitas warga postkolonial adalah identitas yang hibrid dan pada
dasarnya orang yang dikoloni sedang melakukan dekonstruksi terhadap wacana itu.
Sedangkan Hibriditas dalam
konteks postkolonial mengacu pada proses dimana orang-orang yang dikoloni
berusaha menyingkap wacana postkolonial yang beraneka ragam. Selama ini wacana
postkolonial selalu menganggap bahwa orang yang dikoloni adalah orang yang
selalu meniru (mimikri) padahal sebenarnya mereka sedang mencampurkan
wacana kolonial dengan ide mereka (hibrid).
Dalam
menganalisis film Minggu Pagi di Victoria Park penulis akan banyak menggunakan
konsep konsep kunci di atas. Film yang bernarasikan pergulatan Tenaga Kerja
Wanita (TKW) di Hongkong ini sesungguhnya banyak menyimpan ‘rahasia’
postkolonial yang harus ‘dibongkar’ dengan konsep kunci ambivalensi. Seperti
dikisahkan di atas keluarga Mayang dan Sekar sesungguhnya adalah representasi
dari masyarakat terjajah (colonized) yang bergulat dengan struktur
politik, ekonomi, dan budaya warisan kolonial. Salah satunya bisa kita potret
dari sikap ayah Mayang yang memandang ‘luar negeri’ sebagai ‘tanah harapan’
bagi keberlangsungan keluarganya, luar negeri dianggap mampu mengangkat harkat
dan martabat keluarga karena sokongan ekonomi nya. Pandangan demikianlah yang
‘memaksa’ Sekar untuk pergi meninggalkan tanah air menuju negeri asing dengan
harapan akan kehidupan yang lebih baik. Struktur mental yang demikian
sesungguhnya adalah warisan mental inlander masyarakat terjajah yang selalu
menganggap pihak lain (barat/eksternal) memiliki superisositas dan menganggap
dirinya inferior.
Dalam
film ‘Minggu Pagi di Victoria” juga dapat kita temukan kompleksitas
persoalan kekerasan yang dihadapi buruh migran kita. Kekerasan yang dialami
tidak berhenti pada kekerasan fisik semata, namun juga kekerasan psikologis,
simbolik dan budaya. Kekerasan juga tidak hanya dilakukan oleh masyarakat
negeri tujuan sebagai kelas penindas (majikan) namun juga dilakukan oleh masyarakat
dalam kelas tertindas (keluarga korban). Dalam kajian postkolonial ini disebut
ambivalensi, dimana pihak tertindas secara tidak sadar juga melakukan apa yang
mereka sendiri kecam, yakni penindasan. Contoh dalam film ini adalah apa yang
dialami Mayang dan Sekar dalam sebuah keluarga kecil di pelosok Jawa.
Digambarkan bahwa Sekar yang mempunyai kecantikan dan kecerdasan di atas rata
rata gadis desa dijadikan ‘alat’ oleh keluarganya untuk memperbaiki kehidupan
ekonomi mereka, dengan menjadi TKW di negeri orang keluarga Sekar mendapat
perbaikan kehidupan. Sementara kekerasan psikis dialami oleh Mayang, Mayang
yang secara secara fisik tidak serupawan adiknya harus menjalani masa masa
suram dalam keluarganya, dia diremehkan dan selalu dibanding bandingkan dengan
Sekar hanya karena dia tidak bisa pergi ke luar negeri menjadi TKW, sementara
pekerjaannya sebagai buruh di pabrik tebu tidak pernah dihargai oleh ayahnya.
Akibatnya Mayang tanpa sadar memupuk perasaan dendam dan iri terhadap
saudaranya sendiri.
Film
ini juga menyajikan potret menarik kehidupan para pahlawan devisa di negeri
asing. Lika liku kehidupan keseharian buruh migran di negeri asing ini dapat
kita ‘baca’ dengan perspektif poskolonial. Menarik misalnya melihat bagaimana
para Tenaga Kerja Wanita di Hongkong dalam film itu digambarkan memiliki
komunitas dan tempat nongkrong tersendiri di salah satu pusat kota, mereka
biasa saling bertemu dan berbagi keluh kesah tentang pekerjaan, keluaga
majikannya, hingga pacar mereka. Salah satu yang menarik adalah perubahan gaya
hidup dan selera konsumsi mereka selama di negeri asing.
Dalam
film ini digambarkan bagaimana para buruh migran perempuan ini mulai menjadi
‘manusia modern’, minimal dari penampilan fisik mereka. Mereka mengenakan
celana jins, tank top dan rompi, sementara sebagian yang lain banyak yang
mengecat rambut mereka, memasang anting di mulut dan merokok menjadi kebiasaan.
Perilaku mereka dalam meniru gaya hidup, mode pakaian dan selera konsumsi
masyarakat negara maju hakikatnya sedang mengidentifikasikan identitas baru
mereka sebagai ‘manusia modern’ dan mencoba membunuh identitas lama mereka
sebagai ‘warga kelas dua’ di negeri asing. Namun dalam proses meniru ini
terdapat sebuah ambivalensi seperti layaknya konsep mimikri nya Hommy Babha, proses
meniru menurut Babha tidak hanya bersifat melanggengkan dominasi namun di saat
yang bersamaan juga berusaha menegasikan dominasi tersebut. Artinya meniru juga
mengandung makna mengejek dan mendifferensiasikan dirinya dengan yang ditiru.
Dalam konteks perilaku para buruh migran wanita di film Minggu Pagi di Victoria
Park dapat dikategorikan sebagai perilaku mimikri, mereka meniru dan
berusaha mengidentifikasikan diri sesuai citra manusia modern dengan mengikuti
gaya berpakaian, gaya hidup, dan penampilan fisik yang lain, namun perilaku
mereka justru masih mempertahankan karakter karakter tradisional mereka,
seperti suka bergosip dan mengobrol sesama migran, dan masih suka menggunakan
kata kata kasar dari negara asal, seperti terlihat dari salah satu adegan saat
Sekar bertengkar dengan temannya dan diakhir percakapan Sekar mengumpat
temannya dengan sebutan “Jancuk”, sebuah umpatan khas Jawa Timuran. Proses
proses di atas menunjukan bahwa meski mereka telah merombak total penampilan
dan gaya hidup mereka hingga identik dengan apay yang mereka sebut citra
manusia modern, namun hakikatnya struktur mental dan kesadaran mereka masih
berada dalam bayangan identitas tradisional dan sebagai masyarakat terjajah (colonized)
yang mudah mengimitasi apapun dari bangsa penjajah (colonizer). Dalam
konteks ini sesungguhnya mereka tidak hanya meniru (imitasi) namun juga ada
unsur mengejek (mockey), tidak hanya melanggengkan dominasi budaya namun
juga berusaha menegasikan dominasi kultural itu. Akibatnya konstruksi identitas
buruh migran pada film ini adalah perpaduan antara citra modernitas penampilan
dan tradisionalitas sikap, sebuah identitas hibrid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar