Sabtu, 01 Juni 2013

Demokratisasi Pendidikan Tinggi : Agenda Mendesak Gerakan Mahasiswa


Oleh Mohammad Zaki Arrobi[1]
Rutinitas menyambut Hari Pendidikan Nasional kita biasanya dimulai dengan ramai-ramai membuat check list masalah dunia pendidikan di republik ini. Sekedar mengeja kekisruhan Ujian Nasional, Kurikulum 2013, kontroversi Undang-Undang Pendidikan Tinggi, rendahnya kualitas guru-guru kita, bobroknya infrastruktur sekolah hingga persoalan orientasi pendidikan nasional yang tidak jelas menjadi daftar panjang problematika dunia pendidikan kita. Di antara segudang masalah, kita harus tetap optimis dan yakin bahwa hanya dengan pendidikanlah bangsa ini akan berdikari di lapangan ekonomi, berkepribadian di ranah kebudayaan dan berdaulat di bidang politik. Sebab sudah terlalu lama bangsa ini ‘menganak tirikan’ pendidikan dalam proses pembangunan nasional. ‘Politik sebagai panglima’ pernah bergaung di saat Orde Lama, ‘Ekonomi sebagai panglima’ jaya-jayanya di saat Orde Baru, kini sudah saatnya bangsa Indonesia menjadikan ‘pendidikan sebagai panglima’, sesuai amanat konstitusi kita yang menjadi dasar tujuan bernegara adalah “Mencerdaskan Kehidupan Berbangsa”. Pendidikan mengutip Anies Baswedan menjadi eskalator paling akseleratif dalam melakukan mobilitas vertikal, dan membina sumber daya manusia untuk mendorong  kemajuan sebuah bangsa. Oleh karenanya penting memaknai hari pendidikan nasional kita sebagai upaya reflektif untuk melakukan pembacaan ulang (reinterpretasi) dan memikirkan kembali (rethinking) masalah masalah pendidikan kita dewasa ini, untuk kemudian dijadikan basis intelektual dalam melakukan gerakan-gerakan sosial yang lebih nyata demi perbaikan dunia pendidikan di Indonesia.
Di antara berbagai problem yang melanda dunia pendidikan di Indonesia, saya mengambil sikap bahwa persoalan dunia pendidikan tinggi haruslah mendapat prioritas lebih bagi para kaum intelektual kampus, intelektual muda yang berlabel mahasiswa. Mengapa demikian..? tanpa mengabaikan persoalan persoalan lain, problematika di dunia pendidikan tinggi kita sesungguhnya teramat krusial, menyangkut nasib rakyat dan variabel maha penting dalam mendorong kemajuan Indonesia di masa depan. Pendidikan tinggi mampu menjadi alat untuk melakukan mobilitas sosial vertikal berjuta juta manusia Indonesia, apalagi kondisi sumber daya manusia kita yang masih memprihatinkan. Pada tahun 2013 misalkan, Human Development Index (HDI) Indonesia baru mencapai skor 0,629, menempati peringkat 121 dari 187 negara-negara di dunia. Angka IPM ini memang naik dibanding tahun sebelumnya, namun capaian Indonesia ini masih tetap lebih rendah daripada lima negara di ASEAN, sebagai pembanding saja Singapura menempati posisi ke 18 dunia, Malasyia di urutan 64, Thailand dan Filiphina masing masing di posisi 103 dan 114[2]. Indeks Pembangunan Manusia diukur berdasarkan tiga kriteria utama, pendidikan, kondisi hidup layak dan angka harapan hidup manusia. Angka partisipasi pendidikan tinggi kita juga masih rendah, pada data BPS tahun 2010, angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia sebesar 16,35 persen dan angka partisipasi murni perguruan tinggi adalah 11,01 persen. Sementara itu jumlah mahasiswa di Indonesia pada tahun 2011 baru mencapai 4,8 juta orang, dan bila dihitung terhadap populasi penduduk yang berusia 19-24 tahun, maka angka partisipasi kasarnya baru sekitar 18,4 persen[3]. Data-data ini menunjukan masih rendahnya akses warga negara yang berusia 19-24 tahun Indonesia terhadap pendidikan tinggi.
Atas dasar fakta di ataslah sudah seharusnya agenda agenda strategis pendidikan tinggi di Indonesia harus mendapar prioritas. Selain persoalan buruk dan rendahnya kualitas sdm kita, institusi pendidikan tinggi sesungguhnya juga mampu memberikan ‘habitus’ yang komplet dalam menempa manusia manusia Indonesia. Habitus inilah yang disebut kampus, dalam kampus para mahasiswa dari berbagai latar belakang bertemu, lintas geografis, lintas etnis, lintas agama bahkan lintas ideologi politik. Dalam ruang yang deliberatif tersebut relasi relasi sosial yang inklusif dan toleran terhadap perbedaan akan mudah terbentuk dibanding lingkungan lain[4]. Dalam kampus, mahasiswa menempa modal intelektual, modal sosial dan modal budayanya, sebelum dia terjun langsung dalam masyarakat. Kampus melalui organisasi kemahasiswaannya juga menjadi sarana perkaderan pemimpin-pemimpin bangsa paling efektif, melalui kampuslah lahir pemimpin pemimpin masa depan Indonesia. Oleh karenanya gerakan mahasiswa sebagai eskponen gerakan intelektual kampus haruslah menempatkan isu pendidikan tinggi sebagai agenda strategis gerakannya.
Gerakan mahasiswa pasca-1998 seolah mengalami disorientasi. Gerakan mahasiswa terjebak romantisasi perjuangan angkatan 98 dan 66, mengalami pengeroposan dari dalam, terfragementasi dan gagal membangun gerakan gerakan kolektif dalam merespon isu isu kebangsaan. Konteks sosial-politik yang berubah diyakini belum terlalu disadari gerakan mahasiswa saat ini, ketiadaan musuh bersama (common enemy), era keterbukaan media, liberalisasi politik dan pers yang semakin garang membuat gerakan mahasiswa limbung menempatkan posisinya diantara kekuatan kekuatan masyarakat sipil lainnya. Akibatnya gerakannya cenderung bergerak sporadis, tanpa perencanaan yang matang dan sangat mudah dimainkan agenda setting media massa[5]. Padahal dalam iklim politik demokratis, dimana semua elemen elemen sipil dapat bersuara dan mengartikulasikan kepentingannya, yang terpenting bukanlah jumlah massa lagi namun konsistensi pengawalan isu isu yang spesifik dan kontinu. Disinilah peranan gerakan mahasiswa harus berada, Gerakan Mahasiswa harus mulai mengawal isu isu strategis kebangsaan yang spesifik dan dianggap paling krusial, energi internal dalam gerakan harus dikelola dengan baik agar mampu tertransformasikan dalam aksi aksi kolektif. Spesifikasi isu ini tidak mereduksi peranan dan perjuangan gerakan kemahasiswaan, namun isu-isu yang spesifik ini haruslah diderivasi dari gagasan besar yang diusung gerakan mahasiswa, jadi isu ini integral dengan gagasan besar kebangsaan yang diusung gerakan mahasiswa. Model gerakan seperti ini mungkin akan menyerupai varian gerakan sosial baru (new social movement), dimana isu dalam gerakan menjadi sangat fragmented dan digerakkan oleh kekuatan kelas menengah (middle class)[6].
Pengawalan isu spesifik yang kontinue dan konsisten akan membuat gerakan mahasiswa mampu mempengaruhi proses proses politik yang menentukan kebijakan publik bagi rakyat Indonesia. Dalam paper ini kami menawarkan konsepsi “Mengawal Demokrasi Kita” sebagai tawaran alternasi perjuangan gerakan mahasiswa kontemporer, ide ini lahir dari kegelisahan akan potret kegagalan sistem demokrasi dalam menghadirkan kesejahteraan, keadilan sosial, tertib sosial dan jaminan keamanan bagi warga negaranya. Padahal demokrasi sesungguhnya dihadirkan dalam konteks pemenuhan tujuan tujuan di atas, disinilah kontrol dan partisipasi elemen-elemen sipil yang kritis, dan gerakan mahasiswa relevan mengambil posisi ini. Gagasan besar “Mengawal Demokrasi Kita” di break down menjadi tiga segmen, yakni pengawalan demokrasi politik, demokrasi pendidikan dan demokrasi ekonomi.
Dalam konteks inilah demokratisasi pendidikan menjadi agenda strategis gerakan mahasiswa kontemporer. Demokratisasi pendidikan adalah upaya menjadikan pendidikan sebagai hak dasar setiap warga negara tanpa memandang status sosial, ekonomi, etnis, agama maupun latar belakang primordial, demokratisasi pendidikan juga merupakan upaya menghadirkan pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada warga negara untuk mencapai tingkat pendidikan sekolah yang setinggi tingginya sesuai dengan kemampuannya, nafas demokratisasi pendidikan bersumber dari Pasal  31 UUD 1945 Ayat 1 bahwa “Setiap Warga Negara Berhak mendapat pendidikan tinggi” dan ayat 3 “Pemerintah wajib mengadakan suatu mengusakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta aklal mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”
Secara struktural, agenda perjuangan demokratisasi pendidikan setidaknya harus diletakkan dalam tiga konteks strategis, Pertama, gerakan menolak segala upaya komersialisasi pendidikan tinggi dalam bentuk apapun. Undang Undang BHP memang telah dihapus, UU BHP ini menyeragamkan bentuk otonomi pendidikan di segala jenjang sehingga membuka peluang komersialisasi dan komodifikasi pendidikan,  namun bukan berarti bahwa penetrasi kekuatan kapital sudah tidak ada lagi. Undang Undang Pendidikan Tinggi Nomor 12 tahun 2012 sebagai gantinya pun tidak luput dari potensi komersialisasi, meski sudah ada garansi penerimaan mahasiswa kurang mampu sebesar 20%, namun potensi komersialisasi tetap terbuka jika impelementasinya tidak diawasi. Peluang komersialisasi misalnya terlihat dalam Pasal 73 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru diluar jalur nasional dan Pasal 90 tentang Perguruan Tingga Asing yang diperbolehkan masuk ke Indonesia, dianggap berpotensi membuka celah komersialisasi, serta Pasal 76 ayat (2c) yang terdapat ketentuan tentang sistem student loan, yaitu pinjaman tanpa bunga bagi mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi. Hal ini tidak sesuia dengan tujuan pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa.
Kedua, gerakan untuk terus mendorong independensi institusi pendidikan tinggi agar terbebas dari kooptasi kekuatan pasar dan negara. Tensi politik jelang suksesi kepemimpinan nasional 2014 dikhawatirkan akan ikut menyeret dunia pendidikan tinggi ke dalam ranah politik praktis, belum lagi watak negara yang kooptatif terhadap institusi ilmiah perlu dihindari. Institusi pendidikan tinggi juga harus dijaga independensinya dari penetrasi kekuatan pasar yang dahsyat, komodifikasi pendidikan sebagaimana dijelaskan oleh George Ritzer sebagai fenomena Mc Donaldisasi Pendidikan harus dihindari, dimana pendidikan dikuantifikasi, mengikuti logika pasar, bergantung pada teknologi dan mengutamakan prinsip efisiensi semata[7]. Ketiga, menjamin aksesbilitas pendidikan tinggi terhadap semua lapisan sosial masyarakat. Pendidikan tinggi harus terjangkau dan mudah di akses oleh lapisan sosial paling bawah sekalipun dalam struktur masyarakat kita, konsep Education For All harus diterapkan betul oleh institusi pendidikan tinggi, pendidikan tinggi tidak boleh membuat garis demarkasi antara golongan the have dan golongan the have not.  Dalam konteks ini penerapan Uang Kuliah Tunggal yang akan dimulai tahun akademik 2013-14 ini perlu dikawal terus agar semangat mendemokratisasikan pendidikan tinggi tetap terjaga. Penerapan UKT harus memperhatikan prinsip keadilan sosial dalam penetapan biaya kuliah mahasiswa. Pendidikan tinggi harus mengubur jurang ketidakadilan diantara warga negara.
Di ranah praktik kebudayaan, seharusnya disadari betul bahwa konsepsi demokratisasi pendidikan sebenarnya bukan hanya dalam ranah struktural semata, namun juga bermain di ranah reproduksi kultural dan pengetahuan. Praktik kebudayaan dalam institusi pendidikan termasuk pendidikan tinggi seringkali belumlah mencerminkan prinsip prinsip demokrasi, pendidikan selama ini hanya menjalankan transfer of knowledge semata namun abai terhadap transfer of value, proses belajar mengajar kering dan berjarak degnan realitas sosial nyata, sehingga peserta didik teralienasi dari lingkungan sosial nya. Alih alih mendekatkan dengan masyarakat, pendidikan kita justru memperlebar jurang antara realitas sosial dan ilmu pengetahuan. Sehingga pendidikan hanya menciptakan manusia manusia yang hanya mampu berakrobat intelektual, namun minim praktik sosial yang transformatif. Padahal sesungguhnya tujuan dasar pendidikan menurut Paulo Freire adalah pembebasan. Pendidikan seperti di katakan pejuang kemanusiaan asal Brasil ini, setidaknya harus mampu melakukan dua hal, pertama menjalankan tugasnya untuk memanusiakan kembali manusia (humanisasi) dan kedua membebaskan dari segala keterbelakangan (liberasi)[8].
Pola pengajaran dalam pendidikan harus didorong ke arah dialog yang kritis yang mencerahkan. Dialog kritis inilah yang akan menyadarkan pendidik dan terididik akan realitas kehidupan mereka, merefleksikannya dan menstimulus untuk melakukan pembebasan dari segenap persoalan dalam realitas kehidupan. Proses pembelajaran ini mengedepankan sikap kritis-reflektif dalam membangun kesadaran untuk melakukan proses humanisasi dan liberasi, tujuan akhir dari pendidikan. Jikalau mengacu pada konsepsi pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara yang hari lahirnya selalu kita peringati bersama, pendidikan haruslah Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madyo MangunKusumo, Tut Wuri Handayani yang berarti di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan. Gerakan mahasiswa harus terus memperjuangkan agenda strategis pendidikan tinggi, baik secara struktural maupun kultural, demi menjalankan misi humanisasi dan liberalisasi manusia-manusia Indonesia.
Daftar Pustaka
Arrobi, Zaki. Ed, 2012. Mahasiswa Merajut Asa : Antara Pemikiran dan Aksi, Yogyakarta, Penerbit Bulaksumur Empat.
Freire, Paulo, 1987, Pendidikan Untuk Kaum Tertindas, Jakarta. LP3ES
George Ritzer,2002.  Ketika Kapitalisme Berjingkrak : Telaah Kritis terhadap Gelombang Mc Donaldisasi, Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Sanit, Arbi, 1999. Pergolakan Melawan Kekuasaan : Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan Politik. Yogyakarta. Insist Press dan Pustaka Pelajar
Sing, Rajendra. 2010. Gerakan Sosial Baru. Yogyakarta. Resist Book
Internet
Situs resmi Badan Pusat Statistik Republik Indonesia








[1] Disampaikan dalam Diskusi Publik “Reinventing Our Education” Kamis, 2 Mei 2013 di selenggarakan oleh Dewan Mahasiswa Fisipol dan MAHASAKSI Indonesia, Kampus Bulaksumur Fisipol UGM
[3] Badan Pusat Statistik
[4] Arbi Sanit, 1999. Pergolakan Melawan Kekuasaan : Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan Politik. Yogyakarta. Insist Press dan Pustaka Pelajar

[5] Mohammad Zaki Arrobi Ed, 2012. Mahasiswa Merajut Asa : Antara Pemikiran dan Aksi, Yogyakarta, Penerbit Bulaksumur Empat.
[6] Rajendra Sing. 2010. Gerakan Sosial Baru. Yogyakarta. Resist Book
[7] George Ritzer,2002.  Ketika Kapitalisme Berjingkrak : Telaah Kritis terhadap Gelombang Mc Donaldisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
[8] Paulo Freire, 1987, Pendidikan Untuk Kaum Tertindas, Jakarta. LP3ES

Tidak ada komentar:

Posting Komentar