Oleh
Mohammad Zaki Arrobi[1]
Rutinitas menyambut Hari Pendidikan Nasional kita biasanya dimulai
dengan ramai-ramai membuat check list masalah dunia pendidikan di
republik ini. Sekedar mengeja kekisruhan Ujian Nasional, Kurikulum 2013, kontroversi
Undang-Undang Pendidikan Tinggi, rendahnya kualitas guru-guru kita, bobroknya
infrastruktur sekolah hingga persoalan orientasi pendidikan nasional yang tidak
jelas menjadi daftar panjang problematika dunia pendidikan kita. Di antara
segudang masalah, kita harus tetap optimis dan yakin bahwa hanya dengan pendidikanlah
bangsa ini akan berdikari di lapangan ekonomi, berkepribadian di ranah
kebudayaan dan berdaulat di bidang politik. Sebab sudah terlalu lama bangsa ini
‘menganak tirikan’ pendidikan dalam proses pembangunan nasional. ‘Politik
sebagai panglima’ pernah bergaung di saat Orde Lama, ‘Ekonomi sebagai panglima’
jaya-jayanya di saat Orde Baru, kini sudah saatnya bangsa Indonesia menjadikan
‘pendidikan sebagai panglima’, sesuai amanat konstitusi kita yang menjadi dasar
tujuan bernegara adalah “Mencerdaskan Kehidupan Berbangsa”. Pendidikan
mengutip Anies Baswedan menjadi eskalator paling akseleratif dalam melakukan
mobilitas vertikal, dan membina sumber daya manusia untuk mendorong kemajuan sebuah bangsa. Oleh karenanya penting
memaknai hari pendidikan nasional kita sebagai upaya reflektif untuk melakukan
pembacaan ulang (reinterpretasi) dan memikirkan kembali (rethinking)
masalah masalah pendidikan kita dewasa ini, untuk kemudian dijadikan basis
intelektual dalam melakukan gerakan-gerakan sosial yang lebih nyata demi
perbaikan dunia pendidikan di Indonesia.
Di antara berbagai problem yang melanda dunia pendidikan di
Indonesia, saya mengambil sikap bahwa persoalan dunia pendidikan tinggi
haruslah mendapat prioritas lebih bagi para kaum intelektual kampus,
intelektual muda yang berlabel mahasiswa. Mengapa demikian..? tanpa mengabaikan
persoalan persoalan lain, problematika di dunia pendidikan tinggi kita
sesungguhnya teramat krusial, menyangkut nasib rakyat dan variabel maha penting
dalam mendorong kemajuan Indonesia di masa depan. Pendidikan tinggi mampu
menjadi alat untuk melakukan mobilitas sosial vertikal berjuta juta manusia
Indonesia, apalagi kondisi sumber daya manusia kita yang masih memprihatinkan.
Pada tahun 2013 misalkan, Human Development Index (HDI) Indonesia baru
mencapai skor 0,629, menempati peringkat 121 dari 187 negara-negara di dunia.
Angka IPM ini memang naik dibanding tahun sebelumnya, namun capaian Indonesia
ini masih tetap lebih rendah daripada lima negara di ASEAN, sebagai pembanding
saja Singapura menempati posisi ke 18 dunia, Malasyia di urutan 64, Thailand
dan Filiphina masing masing di posisi 103 dan 114[2].
Indeks Pembangunan Manusia diukur berdasarkan tiga kriteria utama, pendidikan,
kondisi hidup layak dan angka harapan hidup manusia. Angka partisipasi
pendidikan tinggi kita juga masih rendah, pada
data BPS tahun 2010, angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia
sebesar 16,35 persen dan angka partisipasi murni perguruan tinggi adalah 11,01
persen. Sementara itu jumlah mahasiswa di Indonesia pada tahun 2011 baru
mencapai 4,8 juta orang, dan bila dihitung terhadap populasi penduduk yang
berusia 19-24 tahun, maka angka partisipasi kasarnya baru sekitar 18,4 persen[3].
Data-data ini menunjukan masih rendahnya akses warga negara yang berusia 19-24
tahun Indonesia terhadap pendidikan tinggi.
Atas dasar fakta di ataslah sudah seharusnya agenda agenda
strategis pendidikan tinggi di Indonesia harus mendapar prioritas. Selain persoalan
buruk dan rendahnya kualitas sdm kita, institusi pendidikan tinggi sesungguhnya
juga mampu memberikan ‘habitus’ yang komplet dalam menempa manusia manusia
Indonesia. Habitus inilah yang disebut kampus, dalam kampus para mahasiswa dari
berbagai latar belakang bertemu, lintas geografis, lintas etnis, lintas agama
bahkan lintas ideologi politik. Dalam ruang yang deliberatif tersebut relasi
relasi sosial yang inklusif dan toleran terhadap perbedaan akan mudah terbentuk
dibanding lingkungan lain[4].
Dalam kampus, mahasiswa menempa modal intelektual, modal sosial dan modal
budayanya, sebelum dia terjun langsung dalam masyarakat. Kampus melalui
organisasi kemahasiswaannya juga menjadi sarana perkaderan pemimpin-pemimpin
bangsa paling efektif, melalui kampuslah lahir pemimpin pemimpin masa depan
Indonesia. Oleh karenanya gerakan mahasiswa sebagai eskponen gerakan
intelektual kampus haruslah menempatkan isu pendidikan tinggi sebagai agenda
strategis gerakannya.
Gerakan mahasiswa pasca-1998 seolah mengalami disorientasi. Gerakan
mahasiswa terjebak romantisasi perjuangan angkatan 98 dan 66, mengalami
pengeroposan dari dalam, terfragementasi dan gagal membangun gerakan gerakan
kolektif dalam merespon isu isu kebangsaan. Konteks sosial-politik yang berubah
diyakini belum terlalu disadari gerakan mahasiswa saat ini, ketiadaan musuh
bersama (common enemy), era keterbukaan media, liberalisasi politik dan
pers yang semakin garang membuat gerakan mahasiswa limbung menempatkan
posisinya diantara kekuatan kekuatan masyarakat sipil lainnya. Akibatnya
gerakannya cenderung bergerak sporadis, tanpa perencanaan yang matang dan
sangat mudah dimainkan agenda setting media massa[5].
Padahal dalam iklim politik demokratis, dimana semua elemen elemen sipil dapat
bersuara dan mengartikulasikan kepentingannya, yang terpenting bukanlah jumlah
massa lagi namun konsistensi pengawalan isu isu yang spesifik dan kontinu.
Disinilah peranan gerakan mahasiswa harus berada, Gerakan Mahasiswa harus mulai
mengawal isu isu strategis kebangsaan yang spesifik dan dianggap paling
krusial, energi internal dalam gerakan harus dikelola dengan baik agar mampu
tertransformasikan dalam aksi aksi kolektif. Spesifikasi isu ini tidak
mereduksi peranan dan perjuangan gerakan kemahasiswaan, namun isu-isu yang
spesifik ini haruslah diderivasi dari gagasan besar yang diusung gerakan
mahasiswa, jadi isu ini integral dengan gagasan besar kebangsaan yang diusung
gerakan mahasiswa. Model gerakan seperti ini mungkin akan menyerupai varian
gerakan sosial baru (new social movement), dimana isu dalam gerakan
menjadi sangat fragmented dan digerakkan oleh kekuatan kelas menengah (middle
class)[6].
Pengawalan isu spesifik yang kontinue dan konsisten akan membuat
gerakan mahasiswa mampu mempengaruhi proses proses politik yang menentukan
kebijakan publik bagi rakyat Indonesia. Dalam paper ini kami menawarkan
konsepsi “Mengawal Demokrasi Kita” sebagai tawaran alternasi perjuangan
gerakan mahasiswa kontemporer, ide ini lahir dari kegelisahan akan potret
kegagalan sistem demokrasi dalam menghadirkan kesejahteraan, keadilan sosial,
tertib sosial dan jaminan keamanan bagi warga negaranya. Padahal demokrasi
sesungguhnya dihadirkan dalam konteks pemenuhan tujuan tujuan di atas,
disinilah kontrol dan partisipasi elemen-elemen sipil yang kritis, dan gerakan
mahasiswa relevan mengambil posisi ini. Gagasan besar “Mengawal Demokrasi
Kita” di break down menjadi tiga segmen, yakni pengawalan demokrasi
politik, demokrasi pendidikan dan demokrasi ekonomi.
Dalam konteks inilah demokratisasi pendidikan menjadi agenda
strategis gerakan mahasiswa kontemporer. Demokratisasi pendidikan adalah upaya
menjadikan pendidikan sebagai hak dasar setiap warga negara tanpa memandang
status sosial, ekonomi, etnis, agama maupun latar belakang primordial,
demokratisasi pendidikan juga merupakan upaya
menghadirkan pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada warga negara
untuk mencapai tingkat pendidikan sekolah yang setinggi tingginya sesuai dengan
kemampuannya, nafas demokratisasi pendidikan bersumber dari Pasal 31 UUD 1945 Ayat 1 bahwa “Setiap Warga
Negara Berhak mendapat pendidikan tinggi” dan ayat 3 “Pemerintah wajib
mengadakan suatu mengusakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta aklal mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”
Secara struktural,
agenda perjuangan demokratisasi pendidikan setidaknya harus diletakkan dalam
tiga konteks strategis, Pertama, gerakan menolak segala upaya komersialisasi
pendidikan tinggi dalam bentuk apapun. Undang Undang BHP memang telah dihapus,
UU BHP ini menyeragamkan bentuk otonomi pendidikan di segala jenjang sehingga
membuka peluang komersialisasi dan komodifikasi pendidikan, namun bukan berarti bahwa penetrasi kekuatan
kapital sudah tidak ada lagi. Undang Undang Pendidikan Tinggi Nomor 12 tahun
2012 sebagai gantinya pun tidak luput dari potensi komersialisasi, meski sudah
ada garansi penerimaan mahasiswa kurang mampu sebesar 20%, namun potensi
komersialisasi tetap terbuka jika impelementasinya tidak diawasi. Peluang
komersialisasi misalnya terlihat dalam Pasal 73 tentang Penerimaan Mahasiswa
Baru diluar jalur nasional dan Pasal 90 tentang Perguruan Tingga Asing yang
diperbolehkan masuk ke Indonesia, dianggap berpotensi membuka celah
komersialisasi, serta Pasal 76 ayat (2c) yang terdapat ketentuan tentang
sistem student
loan, yaitu pinjaman
tanpa bunga bagi mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi. Hal ini tidak
sesuia dengan tujuan pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan
berbangsa.
Kedua, gerakan untuk terus mendorong independensi institusi
pendidikan tinggi agar terbebas dari kooptasi kekuatan pasar dan negara. Tensi
politik jelang suksesi kepemimpinan nasional 2014 dikhawatirkan akan ikut
menyeret dunia pendidikan tinggi ke dalam ranah politik praktis, belum lagi
watak negara yang kooptatif terhadap institusi ilmiah perlu dihindari. Institusi
pendidikan tinggi juga harus dijaga independensinya dari penetrasi kekuatan
pasar yang dahsyat, komodifikasi pendidikan sebagaimana dijelaskan oleh George
Ritzer sebagai fenomena Mc Donaldisasi Pendidikan harus dihindari, dimana pendidikan
dikuantifikasi, mengikuti logika pasar, bergantung pada teknologi dan
mengutamakan prinsip efisiensi semata[7]. Ketiga,
menjamin aksesbilitas pendidikan tinggi terhadap semua lapisan sosial
masyarakat. Pendidikan tinggi harus terjangkau dan mudah di akses oleh lapisan
sosial paling bawah sekalipun dalam struktur masyarakat kita, konsep Education
For All harus diterapkan betul oleh institusi pendidikan tinggi, pendidikan
tinggi tidak boleh membuat garis demarkasi antara golongan the have dan
golongan the have not. Dalam
konteks ini penerapan Uang Kuliah Tunggal yang akan dimulai tahun akademik
2013-14 ini perlu dikawal terus agar semangat mendemokratisasikan pendidikan
tinggi tetap terjaga. Penerapan UKT harus memperhatikan prinsip keadilan sosial
dalam penetapan biaya kuliah mahasiswa. Pendidikan tinggi harus mengubur jurang
ketidakadilan diantara warga negara.
Di ranah praktik kebudayaan, seharusnya disadari betul bahwa konsepsi
demokratisasi pendidikan sebenarnya bukan hanya dalam ranah struktural semata,
namun juga bermain di ranah reproduksi kultural dan pengetahuan. Praktik
kebudayaan dalam institusi pendidikan termasuk pendidikan tinggi seringkali
belumlah mencerminkan prinsip prinsip demokrasi, pendidikan selama ini hanya
menjalankan transfer of knowledge semata namun abai terhadap transfer
of value, proses belajar mengajar kering dan berjarak degnan realitas
sosial nyata, sehingga peserta didik teralienasi dari lingkungan sosial nya.
Alih alih mendekatkan dengan masyarakat, pendidikan kita justru memperlebar
jurang antara realitas sosial dan ilmu pengetahuan. Sehingga pendidikan hanya
menciptakan manusia manusia yang hanya mampu berakrobat intelektual, namun
minim praktik sosial yang transformatif. Padahal sesungguhnya tujuan dasar
pendidikan menurut Paulo Freire adalah pembebasan. Pendidikan seperti di katakan pejuang kemanusiaan asal Brasil ini,
setidaknya harus mampu melakukan dua hal, pertama menjalankan tugasnya
untuk memanusiakan kembali manusia (humanisasi) dan kedua membebaskan
dari segala keterbelakangan (liberasi)[8].
Pola pengajaran dalam pendidikan harus didorong ke arah dialog yang
kritis yang mencerahkan. Dialog kritis inilah yang akan menyadarkan pendidik
dan terididik akan realitas kehidupan mereka, merefleksikannya dan menstimulus
untuk melakukan pembebasan dari segenap persoalan dalam realitas kehidupan.
Proses pembelajaran ini mengedepankan sikap kritis-reflektif dalam membangun
kesadaran untuk melakukan proses humanisasi dan liberasi, tujuan akhir dari pendidikan.
Jikalau mengacu pada konsepsi pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara yang hari
lahirnya selalu kita peringati bersama, pendidikan haruslah Ing Ngarso Sung
Tuladha, Ing Madyo MangunKusumo, Tut Wuri Handayani yang berarti di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat,
di belakang memberi dorongan. Gerakan mahasiswa harus terus memperjuangkan
agenda strategis pendidikan tinggi, baik secara struktural maupun kultural,
demi menjalankan misi humanisasi dan liberalisasi manusia-manusia Indonesia.
Daftar Pustaka
Arrobi,
Zaki. Ed, 2012. Mahasiswa Merajut Asa : Antara Pemikiran dan Aksi,
Yogyakarta, Penerbit Bulaksumur Empat.
Freire,
Paulo, 1987, Pendidikan Untuk Kaum Tertindas, Jakarta. LP3ES
George
Ritzer,2002. Ketika Kapitalisme
Berjingkrak : Telaah Kritis terhadap Gelombang Mc Donaldisasi, Yogyakarta.
Pustaka Pelajar
Sanit,
Arbi, 1999. Pergolakan Melawan Kekuasaan : Gerakan Mahasiswa Antara Aksi
Moral dan Politik. Yogyakarta. Insist Press dan Pustaka Pelajar
Sing, Rajendra. 2010. Gerakan Sosial Baru. Yogyakarta.
Resist Book
Internet
Situs
resmi Badan Pusat Statistik Republik Indonesia
“IPM
Indonesia Naik” diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2013/03/18/087467718
/UNDP-Indeks-Pembangunan-Manusia-Indonesia-Naik pada tanggal 1 Mei 2013
[1]
Disampaikan dalam Diskusi Publik “Reinventing Our Education” Kamis, 2
Mei 2013 di selenggarakan oleh Dewan Mahasiswa Fisipol dan MAHASAKSI Indonesia,
Kampus Bulaksumur Fisipol UGM
[2] “IPM
Indonesia Naik” diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2013/03/18/087467718/UNDP-Indeks-Pembangunan-Manusia-Indonesia-Naik
pada tanggal 1 Mei 2013
[3] Badan
Pusat Statistik
[4] Arbi
Sanit, 1999. Pergolakan Melawan Kekuasaan : Gerakan Mahasiswa Antara Aksi
Moral dan Politik. Yogyakarta. Insist Press dan Pustaka Pelajar
[5] Mohammad
Zaki Arrobi Ed, 2012. Mahasiswa Merajut Asa : Antara Pemikiran dan Aksi,
Yogyakarta, Penerbit Bulaksumur Empat.
[6] Rajendra
Sing. 2010. Gerakan Sosial Baru. Yogyakarta. Resist Book
[7] George
Ritzer,2002. Ketika Kapitalisme
Berjingkrak : Telaah Kritis terhadap Gelombang Mc Donaldisasi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta
[8] Paulo
Freire, 1987, Pendidikan Untuk Kaum Tertindas, Jakarta. LP3ES
Tidak ada komentar:
Posting Komentar