Sabtu, 01 Juni 2013

“Membela Demokrasi dengan Aksi"


                 Oleh M Zaki Arrobi[1]
Pada tanggal 19 Mei 1998 ribuan mahasiswa bersama rakyat turun memadati jalan jalan di ibu kota Jakarta. Mereka menuntut mundurnya Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun, ribuan massa ini akhirnya berhasil menduduki gedung DPR-MPR sebagai simbol matinya kedaulatan rakyat selama Orde Baru, sementara mahasiswa dan rakyat berunjuk rasa di jalanan, di Istana Negara Soeharto memanggil tokoh-tokoh nasional untuk membahas situasi politik terkini. Sebelumnya pada tanggal 12 Mei demonstrasi besar besaran menuntut Soeharto mundur berujung pada tewasnya empat mahasiswa dari Universitas Trisakti akibat terjangan timah panas senapan tentara, mereka gugur sebagai pahlawan reformasi. Klimaksnya, pada tanggal 21Mei di Istana Negara Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan Presiden, pengumuman ini disambut suka cita seluruh rakyat Indonesia, laju gerbong bangsa Indonesia terus melaju menuju babak baru era demokratisasi. Peristiwa heroik ini kemudian dalam teks-teks sejarah nasional disebut sebagai “Gerakan Reformasi 1998” dengan aktor utamanya adalah gerakan mahasiswa, didukung elemen-elemen sipil pro-demokrasi lainnya. Gerakan reformasi sendiri mengusung Enam Agenda Reformasi Bangsa yakni, Adili Soeharto dan kroni-kroninya, Tegakkan Supremasi Hukum, Cabut Dwi Fungsi ABRI, Pemberantasan KKN, Amandemen UUD 1945, dan Otonomi Seluas-luasnya bagi daerah[2].
Lima belas tahun setelah reformasi bergulir potret kebangsaan kita sayangnya belum menggembirakan bagi rakyat. Kesejahteraan kian jauh dari perut-perut rakyat, penegakkan hukum amburadul, korupsi menjadi ‘moralitas baru’ bangsa, politik serba transaksional, penuh kartel dan tuna visi, sementara kohesi-kohesi sosial dalam masyarakat kian menipis akibat merebaknya kekerasan bermotif primordialisme. Ditengah tengah kondisi demikian, gerakan reformasi mulai dipertanyakan ulang, diam diam rakyat memendam semacam kerinduan pada zaman Orde Baru yang dicitrakan dengan “apa-apa murah”, hidup damai tenteram dan terjamin. Selebaran gambar, stiker, poster bahkan kaos bergambar foto Soeharto dengan tulisan “Piye Kabare Le? Enak Jamanku Tho?” akhir-akhir ini marak beredar di masyarakat kita. Beberapa saat lalu, tepatnya pada 1 Maret 2013 Patung dan Rumah Sejarah Jendral Soeharto diresmikan di desa Kemusuk, Bantul, Yogyakarta, tanah kelahirannya[3]. Sebelumnya pada tahun 2010 Jenderal Soeharto sempat diusulkan untuk menjadi “Pahlawan Nasional” oleh beberapa parpol di parlemen. Apa yang sebenernya terjadi?benarkah ini rangkaian kebetulan semata? Jawabanya tidak. Serangkaian peristiwa di atas menunjukan adanya gerakan sistematis untuk menghidupkan romantisme rakyat pada Orde Baru, dari cara cara politik praktis seperti upaya memberikan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto hingga melalui jalur budaya seperti kampanye sosial yang mudah dicerna masyarakat.  Kondisi demikian menggiring kita pada pertanyaan-pertanyaan “apa yang salah dengan reformasi..? benarkah reformasi 15 tahun lalu gagal membawa perubahan di negeri ini? Pertanyaan di atas hari hari ini menjadi sangat relevan untuk dijawab secara komprehensif sebagai refleksi dan koreksi kritis atas jalannya reformasi selama 15 tahun belakangan, sekaligus sebagai basis untuk melakukan wacana tanding (counter discourse) terhadap gerakan sistematis menghidupkan memori rezim Orde Baru.
Jika dilihat secara kritis sesungguhnya haruslah diakui bahwa gerakan reformasi 1998 belumlah memenuhi cita-cita besarnya untuk menciptakan tatanan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Dari enam agenda reformasi, praktis hanya agenda pemisahan dwi fungsi ABRI dan Amandemen UUD 1945 saja yang boleh dikatakan relatif berhasil. Pemberian otonomi seluas-luasnya bagi daerah memang telah terpenuhi, namun otonomi daerah alih alih menciptakan memberdayakan masyarakat lokal, justru menciptakan ‘raja-raja lokal’ dan mendesentralisasi korupsi ke daerah-daerah. Agenda pengadilan Soeharto  sudah jelas tak memungkinkan lagi, sementara agenda pemberantasan KKN dan penegakkan Supremasi Hukum boleh dibilang gagal total. Indeks Persepsi Korupsi (Coruption Perception Index/CPI) masih rendah, menurut Transparency International CPI Indonesia baru di skor 32, alias menempati urutan ke 118 dari 176 negara dalam CPI 2012[4], sementara Supremasi Hukum nampaknya baru ada dalam teks-teks hukum namun tak pernah berbunyi ketika diterapkan. Dalam bidang politik, alih alih menuju masyarakat demokratis seperti di cita citakan reformasi justru yang ada sekarang adalah reorganisasi dan reoligarki kekuatan kekuatan pro status quo,saluran kekuasaan negara memang tidak lagi dikuasai oleh para Jenderal dan  apparathick negara namun oleh para  broker dan pialang politik[5]. Sementara itu perlindungan terhadap Hak Azasi Manusia (HAM) pun seolah berjalan ditempat, dalam laporan HAM Indonesia tahun 2012 yang dirillis Kontras menunjukkan masih banyaknya kasus pelanggaran HAM berat pada masa Orde baru yang belum tuntas, seperti kasus Talangsari, Tragedi Semanggi, Operasi Petrus, dan Kasus DOM di Aceh[6], masih misteriusnya kasus pembunuhan Munir dan maraknya kekerasan terhadap kaum minoritas menambah daftar sengkarut persoalan penegakan HAM di Indonesia.
 Dalam praktik berdemokrasi selama lima belas tahun harus diakui ada kesenjangan antara reformasi yang seharusnya (das sein) dan reformasi yang senyatanya (das sollen). Ada disparitas antara cita-cita reformasi dan output yang dihasilkan reformasi. Kesenjangan inilah yang dieksploitasi oleh antek-antek sisa kekuatan Orde Baru yang sekarang bertebaran dalam berbagai kelompok sosial. Mitos kesejahteraan, pertumbuhan ekonomi, tertib sosial dan harmoni di zaman Orde Baru dihidupkan kembali, sambil mengatakan bahwa reformasi sama sekali tak membawa perubahan signifikan dalam masyarakat. Gerakan sistematis Neo-Orbais ini sesungguhnya sedang melakukan amputasi terhadap sistem politik demokrasi yang sedang berjalan di Indonesia, proses pendalaman demokrasi (deepening democracy) mendapat tantangan dari kelompok-kelompok ini. Padahal demokrasi kita belumlah terkonsolidasi dengan baik. Bahkan menurut Gerry Van Klinken disebut “demokrasi patronase” (patronage democray), demokrasi ini bermutu rendah dan gagal merombak tatanan sosial yang penuh ketimpangan, yang dibangun di atas jaringan klientelistik yang mengasingkan rakyat miskin dengan elite-elite lokal yang kekuasaannya berasal dari negara, dengan praktik politik yang ditandai oleh kegiatan rent-seeking dan penuh potensi kekerasan, serta masih dominannya identitas primordial dibanding kesadaran warga[7]. Restrukturisasi negara memang memperluas partisipasi masyarakat, namun gerakan reformasi dalam beberapa derajat justru melemahkan kelas sebagai basis identitas sosial dan aksi kolektif, akibatnya kepentingan industri kapitalisme lah yang paling banyak meneguk keuntungan dari kondisi ini. Ketidakadilan akses dan sumber daya terjadi, rakyat semakin termarjinalisasi. Di tengah kondisi demikian, elemen-elemen sipil pro-demokrasi penggerak gerakan reformasi harusnya mulai berbenah diri, melakukan otokritik gerakannya dan menata ulang program-program sosial-politiknya untuk mengembalikan ‘kereta reformasi’ menuju rel terciptanya tatanan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.  
Salah satu elemen sipil utama dalam gerakan reformasi 1998 adalah gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa adalah variabel penting dalam perubahan sosial-politik di berbagai negara. Di Perancis mahasiswa mempelopori “Gerakan Mei 68” yang akhirnya berhasil memaksa mundur rezim De Gaulle, di China gerakan mahasiswa menuntut demokratisasi politik dalam peristiwa monumental 4 Juni 1989 di lapangan Tiananmen, di Amerika Latin gerakan mahasiswa di Argentina, Bolivia, Chili dan Brasil berhasil menuntut otonomi universitas dan keterlibatan mahasiswa dalam mengelola administrasi kampus yang dikenal sebagai kontrol bersama (Cogobierno)[8]. Tradisi melawan hegemoni rezim diteruskan gerakan mahasiswa dalam berbagai zaman. Dalam konteks perubahan politik 1998, transformasi gerakan mahasiswa dari tradisi elitisme ke tradisi populisme gerakan berhasil menyatukan berbagai elemen-elemen sipil lainnya untuk bersama-sama meruntuhkan tembok rezim Soeharto pada tahun 1998[9]. Namun sayangnya gerakan mahasiswa pasca reformasi1998 cenderung mengalami ketidakpastian(anomie),gerakan cenderung bergeporak, lemah membangun jejaring, limbung menempatkan posisi, dan terpecah belah (fragmenter)[10].
Gerakan mahasiswa harus melakukan aksi aksi strategis untuk memperbaiki mutu kualitas demokrasi Indonesia, Pertama, melakukan pendidikan demokrasi bagi masyarakat Indonesia. Di tengah disfungsi partai politik dalam melakukan edukasi politik bermakna, gerakan mahasiswa harus turun gunung melakukan edukasi pada masyarakat. Proseduralisme demokrasi Indonesia harus segera diakhiri, praktik politik uang (money politic) harus dilawan dan politisi korup harus diberi sangsi sosial. Pendidikan politik substantif ini dilakukan juga dalam rangka melakukan wacana tanding (counter discourse) terhadap gerakan yang meromantisasi masa Orde Baru. Kedua, menggalakkan kelompok studi dan pemberdayaan masyarakat. Gerakan mahasiswa harus berorientasi gerakan intelektual, namun harus tetap dekat dengan rakyat. Pola gerakan berbasis kelompok studi dan program pemberdayaan masyarakat terbukti sukses ketika kondisi kampus tidak cukup memberikan ruang aktivisme politik. Studi Denny JA menggambarkan aktivisme mahasiswa di tahun 1980an, menunjukan kelompok-kelompok studi dan aksi aksi pemberdayaan yang dilakukan mahasiswa berhasil membangun kesadaran kritis mahasiswa di tengah suasana kampus yang direpresi dan bertekanan akademik tingkat tinggi[11]. Kini situasi nya hampir sama, jika dahulu mahasiswa direpresi dengan kebijakan NKK-BKK, sekarang mahasiswa direpresi dengan berbagai tuntutan akademik standar tingkat tinggi.
Ketiga, Gerakan mahasiswa harus melakukan gerakan-gerakan popular berbasis pemanfaatan media baru dan segmentasi isu. Lanskap sosial-politik gerakan mahasiswa kini sudah berubah, tidak ada lagi common enemy bernama Orde Baru, kebebasan pers, liberalisasi politik dan gelombang media baru harus disadari gerakan mahasiswa. Terutama media baru, kekuatannya harus semakin disadari oleh gerakan mahasiswa. Menurut Michelle An Miller, karakteristik pemuda Indonesia post-Soeharto antara lain tingkat literasi media sosialnya yang sangat tinggi, terlibat dalam isu-isu publik yang spesifik, berjejaring, dan semakin sadar dalam menuntut hak-haknya sebagai warga negara[12]. Kondisi ini harus dibaca gerakan mahasiswa dengan menciptakan gerakan-gerakan popular berbasis isu sektoral seperti, isu Hak Azasi Manusia, isu kesehatan publik, Anti-Korupsi, Isu HIV-AIDS, isu perdamaian dan sebagainya. Isu strategis ini harus dikemas (packaging) dengan elegan dan cerdas melalui sosial media.
Keempat, Gerakan harus memulai membangun blok aliansi demokratik dengan elemen-elemen sipil lainnya. Salah satu persoalan paling serius gerakan mahasiswa pasca-reformasi 98 adalah kelemahannya dalam membangun isu kolektif dan berjejaring dengan kelompok sipil lainnya, padahal koletivitas gerakan dan adanya platform bersama (common platform) menjadi prasyarat wajib dalam mendorong perubahan sosial. Studi Anders Uhlin yang bertajuk “Oposisi Berserak : Gelombang Demokratisasi Ketiga di Indonesia” menunjukan bahwa keberhasilan gerakan reformasi 1998 disebabkan keterlibatan berbagai gerakan-gerakan pro-demokrasi yang meliputi kaum pembangkang elite, kaum intelektual, LSM, aktivis mahasiswa, pemimpin agama, buruh hingga petani, semuanya memperjuangkan isu yang sama, demokrasi[13]. Kini, ketika demokrasi yang puluhan tahun berdarah-darah diperjuangkan terus digerogoti gerakan kontra demokrasi ala Neo-Orbais, maka sekali lagi gerakan mahasiswa akan membela demokrasi dengan aksi.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Arrobi, Zaki, 2012. Mahasiswa Merajut Asa : Antara Pemikiran dan Aksi. Yogyakarta. Penerbit Bulaksumur Empat.

JA, Denny. 2006. Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda Tahun 80-an. Yogyakarta. LkiS
Habibie, jusuf, 2006, “Detik-Detik yang Menentukan : Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi”, Jakarta. The Habibie Center
Hamid, Usman dan AM Priyono , 2012. “Indonesia Pasca-Reformasi : Perspektif Tiga Indonesianis dalam “Memperbaiki Mutu Demokrasi di Indonesia”, Jakarta. Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina

Musa, Usman, 2011. Dalam makalah “Gerakan Mahasiswa dari Cordoba Hingga Tiananmen”
Hadiz, Vedi. (2005).  Dinamika Kekuasaan : Ekonomi Politik Paska Orde Baru. Jakarta : LP3ES
Sudjito, Arie dan Arbi Sanit, 1997. Pergolakan Melawan Kekuasaan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Uhlin. Anders 1998. Oposisi Berserak : Gelombang Demokratisasi ketiga di Indonesia. Yogyakarta, Penerbit Mizan.


Internet
Michelle An Miller, 2013, Indonesian Youth in the post-1998 era of Democratization di akses dari http: // english.alarabiya.net/views/2012/04/03/205067.html di akses pada tanggal 20 Mei 2013 Pukul 13.00 WIB
“Senyum Soeharto” dalam Indoprogress diakses dari  http://indoprogress.com/senyum-soeharto/pada tanggal 19 Mei 2013 Pukul 17.00 WIB
Laporan Riset
Corruption Perception Index Report. 2012. Transparency International
Kontras and ICTJ. 2012. “Derailed : Transitional Justice in Indonesia Since the Fall of Soeharto :Executive Summary and Recomendations”. Kontras dan ICTJ




[1] Mahasiswa Sosiologi Fisipol UGM, saat ini di amanahi sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Mahasiswa Fisipol UGM 2013, disampaikan pada Diskusi “Refleksi Reformasi” Institute For Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta, 21 Mei 2013
[2] Bacharudin Jusuf Habibie, 2006, “Detik-Detik yang Menentukan : Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi”, Jakarta. The Habibie Center
[3] “Senyum Soeharto” dalam Indoprogress diakses dari  http://indoprogress.com/senyum-soeharto/pada tanggal 19 Mei 2013 Pukul 17.00 WIB
[4] Corruption Perception Index Report. 2012. Transparency International
[5] Vedi Hadiz. (2005).  Dinamika Kekuasaan : Ekonomi Politik Paska Orde Baru. Jakarta : LP3ES

[6] Kontras and ICTJ. 2012. “Derailed : Transitional Justice in Indonesia Since the Fall of Soeharto :Executive Summary and Recomendations”. Kontras
[7] Usman Hamid dan AM Priyono, 2012. “Indonesia Pasca-Reformasi : Perspektif Tiga Indonesianis dalam “Memperbaiki Mutu Demokrasi di Indonesia”, Jakarta. Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina
[8] Adie Usman Musa, 2011. Dalam makalah “Gerakan Mahasiswa dari Cordoba ke Tiananmen”
[9] Arie Sudjito dan Arbi Sanit, 1997. Pergolakan Melawan Kekuasaan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
[10] Zaki Arrobi, 2012. Mahasiswa Merajut Asa : Antara Pemikiran dan Aksi. Yogyakarta. Penerbit Bulaksumur Empat.
[11] Denny JA. 2006. Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda Tahun 80-an. Yogyakarta. LkiS
[12] Michelle An Miller, 2013, Indonesian Youth in the post-1998 era of Democratization di akses dari http: // english.alarabiya.net/views/2012/04/03/205067.html
[13] Anders Uhlin. 1998. Oposisi Berserak : Gelombang Demokratisasi ketiga di Indonesia. Yogyakarta, Penerbit Mizan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar