Merayakan
Kemenangan Kelas Menengah Jakarta
Usai sudah gelaran pesta demokrasi lima tahunan bertajuk pemilihan
kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta. Beragam lembaga survei telah merillis
hasil hitung cepatnya, pasangan Joko Widodo dan Basuki Cahya (Ahok) unggul atas
Foke-Nachwrowi Ramli di semua hasil Quick Count. Keunggulan Jokowi-Ahok misalnya
terlihat dalam hasil Quick Count Lingkaran Survei Indonesia dan Indo
Barometer, keunggulan paslon Jokowi Ahok berkisar antara 5-7% atas pasangan
Foke-Nara. Tanpa berpretensi mendahului pengumuman hasil resmi Komisi Pemilihan
Umum Daerah (KPUD) Jakarta yang akan disampaikan tanggal 29 September nanti,
kita nampaknya bisa menyepakati bahwa pasangan Cagub-Cawagub Jokowi-Ahok dapat
dinobatkan sebagai pemenang kontestasi politik lima tahunan DKI Jakarta.
Kemenangan pasangan Jokowi-Ahok menarik jika ditelisik dari sudut
pandang demografi sosial masyarakat Jakarta. Seperti kita ketahui Jakarta
adalah salah satu kota terpadat di dunia, dengan jumlah penduduk mencapai lebih
dari sembilan juta jiwa Jakarta menjadi salah satu kota terpadat didunia. Hal
ini menimbulkan implikasi sosial yang
beragam, antara lain persoalan tata kota, transportasi, ketersediaan
lahan dan meluasnya daerah daerah pinggiran (slump). Fakta unik
selanjutnya adalah tingginya prosentase kelas menengah yang ada di ibu kota.
Suvei yang dirillis Lembaga Survei Indonesia menunjukan bahwa pemilih DKI
Jakarta memiliki proporsi kelas menengah yang paling tinggi dibanding dengan daerah
daerah lain di Indonesia. Kelas menengah ibu kota memiliki karakteristik
berpendidikan tinggi (well educated), pendapatan per kapita sampai
sepuluh ribu dollar, rasional, non ideologis, kritis dan akses ke sosial media
yang sangat tinggi. Oleh karenanya dapat dipahami jika pemilih kelas menengah
memainkan posisi yang begitu sentral dalam pemilukada kali ini, pemilih kelas
menengah adalah kunci memenangi kontestasi politik DKI 1.
Dengan menggunakan frame ini, kita dapat ‘membaca’ bahwa kemenangan
Jokowi-Ahok dalam pemilu kada DKI Jakarta kali ini sesungguhnya juga merupakan
kemenangan kelas menengah ibu kota. Ada banyak argumen untuk mendukung tesis
ini. Pertama, pasangan Jokowi-Ahok adalah pasangan Cagub dengan rate
tertinggi di media sosial. Nama Jokowi terbukti lebih sering menghiasi
pemberitaan di sosial media dibanding Cagub manapun, termasuk sang petahana
Foke. Dan siapa pengguna terbesar media sosial.? mereka adalah kelas menengah
ibu kota, mereka menggunakan sosial meida sebagai sumber informasi terpenting mereka.
Apalagi mayoritas pemberitaan tentang Jokowi di sosial media bernada simpatik
dan positif, tentu saja hal ini memberikanS keuntungan yang luar biasa besar
bagi Jokowi dalam merebut suara pemilih kelas menengah. Kedua, Pasangan
Jokowi-Ahok memenuhi aspirasi pemilih kelas menengah Jakarta tentang mimpi
mimpi perubahan dan perbaikan Jakarta. Kelas menengah Jakarta sedang membangun
imaji perubahan sekaligus ingin menunjukan protes terhadap kepemimpinan lama
yang dianggap tidak bisa memenuhi harapan mereka. Mereka jenuh dengan macet
harian dan banjir tahunan yang menghiasi ibu kota, alhasil mimpi mimpi
perubahan begitu cepat menjalar ke penjuru masyarakat. Di saat demikian Jokowi
hadir sebagai figur perubahan yang Par Exelence, dengan tag line
kampanye “Jakarta Baru” sosok Jokowi begitu aspiratif di mata pemilih kelas
menengah. Figur Jokowi lebih aspiratif di mata pemilih kelas menengah dibanding
figur incumbent misalnya yang dianggap gagal memenuhi harapan harapan
mereka. Arena pemilukada digunakan oleh mereka untuk mengaspirasikan harapan
harapan mereka tentang perubahan sekaligus mengubur kepemimpinan status quo
yang dianggap gagal mengelola ibu kota.
Ketiga, pasangan Jokowi-Ahok dipandang lebih rasional dibanding dengan
pasangan pasangan lainnya. Sepeti disebut diatas bahwa salah satu karakteristik
pemilih kelas menengah Jakarta adalah sikap nya yang rasional (rational
voter). Program program kesehatan, pendidikan dan tata ulang kota yang
dijanjikan Jokowi lebih menarik di mata pemilih kelas menengah dibanding dengan
isu SARA yang dihembuskan oleh kubu salah satu Calon. Isu SARA bagi pemilih kelas
menengah dipandang sudah usang dan kuno, sehingga tidak layak lagi digunakan
dalam kehidupan berdemokrasi, alih alih menurunkan suara isu ini justru membuat
pasangan Jokowi makin dikagumi oleh warga karena respon tenang dan rendah
hatinya dalam menghadapi serangan ini.
Argumen
argumen di atas menggambarkan sesungguhnya kelas menengah ibu kota berada
dibelakang kemenangan pasangan Jokowi-Ahok. Strategi dan pendekatan kampanye
yang tepat dalam mempersuasi pemilih kelas menengah membuat pasangan ini berhasil
unggul hampir di semua daerah. Imaji akan perubahan dan ‘protes’ terhadap status
quo kelas menengah Jakarta pada akhirnya membawa nama Jokowi-Ahok sebagai
pemenang kontestasi politik paling keras tahun ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar