Oleh M Zaki Arrobi[1]
.jpg)
Lima belas tahun setelah reformasi bergulir potret kebangsaan kita
sayangnya belum menggembirakan bagi rakyat. Kesejahteraan kian jauh dari
perut-perut rakyat, penegakkan hukum amburadul, korupsi menjadi ‘moralitas
baru’ bangsa, politik serba transaksional, penuh kartel dan tuna visi,
sementara kohesi-kohesi sosial dalam masyarakat kian menipis akibat merebaknya
kekerasan bermotif primordialisme. Ditengah tengah kondisi demikian, gerakan
reformasi mulai dipertanyakan ulang, diam diam rakyat memendam semacam kerinduan
pada zaman Orde Baru yang dicitrakan dengan “apa-apa murah”, hidup damai
tenteram dan terjamin. Selebaran gambar, stiker, poster bahkan kaos bergambar
foto Soeharto dengan tulisan “Piye Kabare Le? Enak Jamanku Tho?” akhir-akhir
ini marak beredar di masyarakat kita. Beberapa saat lalu, tepatnya pada 1 Maret 2013 Patung dan Rumah Sejarah Jendral Soeharto diresmikan di desa
Kemusuk, Bantul, Yogyakarta, tanah kelahirannya[3].
Sebelumnya pada tahun 2010 Jenderal Soeharto sempat diusulkan untuk menjadi
“Pahlawan Nasional” oleh beberapa parpol di parlemen. Apa yang sebenernya terjadi?benarkah ini rangkaian kebetulan semata?
Jawabanya tidak. Serangkaian peristiwa di atas menunjukan adanya gerakan sistematis untuk
menghidupkan romantisme rakyat pada Orde Baru, dari cara cara politik praktis seperti
upaya memberikan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto hingga melalui jalur
budaya seperti kampanye sosial yang mudah dicerna masyarakat. Kondisi demikian menggiring
kita pada pertanyaan-pertanyaan “apa yang salah dengan reformasi..? benarkah
reformasi 15 tahun lalu gagal membawa perubahan di negeri ini? Pertanyaan di
atas hari hari ini menjadi sangat relevan untuk dijawab secara komprehensif
sebagai refleksi dan koreksi kritis atas jalannya reformasi selama 15 tahun
belakangan, sekaligus sebagai basis untuk melakukan wacana tanding (counter
discourse) terhadap gerakan sistematis menghidupkan memori rezim Orde Baru.
Jika dilihat secara kritis sesungguhnya haruslah diakui bahwa
gerakan reformasi 1998 belumlah memenuhi cita-cita besarnya untuk menciptakan
tatanan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Dari enam agenda reformasi,
praktis hanya agenda pemisahan dwi fungsi ABRI dan Amandemen UUD 1945 saja yang
boleh dikatakan relatif berhasil. Pemberian otonomi seluas-luasnya bagi daerah
memang telah terpenuhi, namun otonomi daerah alih alih menciptakan
memberdayakan masyarakat lokal, justru menciptakan ‘raja-raja lokal’ dan
mendesentralisasi korupsi ke daerah-daerah. Agenda pengadilan Soeharto sudah jelas tak memungkinkan lagi, sementara
agenda pemberantasan KKN dan penegakkan Supremasi Hukum boleh dibilang gagal
total. Indeks Persepsi Korupsi (Coruption Perception Index/CPI) masih rendah, menurut Transparency
International CPI Indonesia baru di skor 32, alias menempati urutan ke 118 dari 176
negara dalam CPI 2012[4],
sementara Supremasi Hukum nampaknya baru ada dalam teks-teks hukum namun
tak pernah berbunyi ketika diterapkan. Dalam bidang politik, alih alih menuju masyarakat demokratis seperti di cita citakan reformasi
justru yang ada sekarang adalah reorganisasi dan reoligarki kekuatan kekuatan
pro status quo,saluran kekuasaan negara memang tidak lagi dikuasai oleh
para Jenderal dan apparathick
negara namun oleh para broker dan
pialang politik[5].
Sementara itu perlindungan terhadap Hak Azasi Manusia (HAM) pun seolah berjalan
ditempat, dalam laporan HAM Indonesia tahun 2012 yang dirillis Kontras
menunjukkan masih banyaknya kasus pelanggaran HAM berat pada masa Orde baru
yang belum tuntas, seperti kasus Talangsari, Tragedi Semanggi, Operasi Petrus,
dan Kasus DOM di Aceh[6], masih misteriusnya kasus
pembunuhan Munir dan maraknya kekerasan terhadap kaum minoritas menambah daftar
sengkarut persoalan penegakan HAM di Indonesia.
Dalam praktik berdemokrasi
selama lima belas tahun harus diakui ada kesenjangan antara reformasi yang
seharusnya (das sein) dan reformasi yang senyatanya (das sollen).
Ada disparitas antara cita-cita reformasi dan output yang dihasilkan reformasi.
Kesenjangan inilah yang dieksploitasi oleh antek-antek sisa kekuatan Orde Baru
yang sekarang bertebaran dalam berbagai kelompok sosial. Mitos kesejahteraan,
pertumbuhan ekonomi, tertib sosial dan harmoni di zaman Orde Baru dihidupkan
kembali, sambil mengatakan bahwa reformasi sama sekali tak membawa perubahan
signifikan dalam masyarakat. Gerakan sistematis Neo-Orbais ini sesungguhnya
sedang melakukan amputasi terhadap sistem politik demokrasi yang sedang
berjalan di Indonesia, proses pendalaman demokrasi (deepening democracy)
mendapat tantangan dari kelompok-kelompok ini. Padahal demokrasi kita belumlah
terkonsolidasi dengan baik. Bahkan menurut Gerry Van Klinken disebut “demokrasi
patronase” (patronage democray), demokrasi ini bermutu rendah dan gagal
merombak tatanan sosial yang penuh ketimpangan, yang dibangun di atas jaringan
klientelistik yang mengasingkan rakyat miskin dengan elite-elite lokal yang
kekuasaannya berasal dari negara, dengan praktik politik yang ditandai oleh
kegiatan rent-seeking dan penuh potensi kekerasan, serta masih dominannya
identitas primordial dibanding kesadaran warga[7]. Restrukturisasi
negara memang memperluas partisipasi masyarakat, namun gerakan reformasi dalam
beberapa derajat justru melemahkan kelas sebagai basis identitas sosial dan
aksi kolektif, akibatnya kepentingan industri kapitalisme lah yang paling
banyak meneguk keuntungan dari kondisi ini. Ketidakadilan akses dan sumber daya
terjadi, rakyat semakin termarjinalisasi. Di tengah kondisi demikian,
elemen-elemen sipil pro-demokrasi penggerak gerakan reformasi harusnya mulai
berbenah diri, melakukan otokritik gerakannya dan menata ulang program-program
sosial-politiknya untuk mengembalikan ‘kereta reformasi’ menuju rel terciptanya
tatanan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
Salah satu elemen sipil utama dalam gerakan reformasi 1998 adalah
gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa adalah variabel penting dalam perubahan
sosial-politik di berbagai negara. Di Perancis mahasiswa mempelopori “Gerakan Mei
68” yang akhirnya berhasil memaksa mundur rezim De Gaulle, di China gerakan
mahasiswa menuntut demokratisasi politik dalam peristiwa monumental 4 Juni 1989
di lapangan Tiananmen, di Amerika Latin gerakan mahasiswa di Argentina,
Bolivia, Chili dan Brasil berhasil menuntut otonomi universitas dan
keterlibatan mahasiswa dalam mengelola administrasi kampus yang dikenal sebagai
kontrol bersama (Cogobierno)[8]. Tradisi
melawan hegemoni rezim diteruskan gerakan mahasiswa dalam berbagai zaman. Dalam
konteks perubahan politik 1998, transformasi gerakan mahasiswa dari tradisi elitisme
ke tradisi populisme gerakan berhasil menyatukan berbagai elemen-elemen sipil
lainnya untuk bersama-sama meruntuhkan tembok rezim Soeharto pada tahun 1998[9].
Namun sayangnya gerakan mahasiswa pasca reformasi1998 cenderung mengalami
ketidakpastian(anomie),gerakan cenderung bergeporak, lemah membangun
jejaring, limbung menempatkan posisi, dan terpecah belah (fragmenter)[10].
Gerakan mahasiswa harus melakukan aksi aksi strategis untuk
memperbaiki mutu kualitas demokrasi Indonesia, Pertama, melakukan pendidikan
demokrasi bagi masyarakat Indonesia. Di tengah disfungsi partai politik dalam
melakukan edukasi politik bermakna, gerakan mahasiswa harus turun gunung
melakukan edukasi pada masyarakat. Proseduralisme demokrasi Indonesia harus
segera diakhiri, praktik politik uang (money politic) harus dilawan dan
politisi korup harus diberi sangsi sosial. Pendidikan politik substantif ini
dilakukan juga dalam rangka melakukan wacana tanding (counter discourse)
terhadap gerakan yang meromantisasi masa Orde Baru. Kedua, menggalakkan kelompok
studi dan pemberdayaan masyarakat. Gerakan mahasiswa harus berorientasi gerakan
intelektual, namun harus tetap dekat dengan rakyat. Pola gerakan berbasis
kelompok studi dan program pemberdayaan masyarakat terbukti sukses ketika kondisi
kampus tidak cukup memberikan ruang aktivisme politik. Studi Denny JA
menggambarkan aktivisme mahasiswa di tahun 1980an, menunjukan kelompok-kelompok
studi dan aksi aksi pemberdayaan yang dilakukan mahasiswa berhasil membangun
kesadaran kritis mahasiswa di tengah suasana kampus yang direpresi dan bertekanan
akademik tingkat tinggi[11].
Kini situasi nya hampir sama, jika dahulu mahasiswa direpresi dengan kebijakan
NKK-BKK, sekarang mahasiswa direpresi dengan berbagai tuntutan akademik standar
tingkat tinggi.
Ketiga, Gerakan mahasiswa harus melakukan gerakan-gerakan popular
berbasis pemanfaatan media baru dan segmentasi isu. Lanskap sosial-politik
gerakan mahasiswa kini sudah berubah, tidak ada lagi common enemy
bernama Orde Baru, kebebasan pers, liberalisasi politik dan gelombang media
baru harus disadari gerakan mahasiswa. Terutama media baru, kekuatannya harus
semakin disadari oleh gerakan mahasiswa. Menurut Michelle An Miller,
karakteristik pemuda Indonesia post-Soeharto antara lain tingkat literasi media
sosialnya yang sangat tinggi, terlibat dalam isu-isu publik yang spesifik,
berjejaring, dan semakin sadar dalam menuntut hak-haknya sebagai warga negara[12].
Kondisi ini harus dibaca gerakan mahasiswa dengan menciptakan gerakan-gerakan
popular berbasis isu sektoral seperti, isu Hak Azasi Manusia, isu kesehatan
publik, Anti-Korupsi, Isu HIV-AIDS, isu perdamaian dan sebagainya. Isu
strategis ini harus dikemas (packaging) dengan elegan dan cerdas melalui
sosial media.
Keempat, Gerakan harus memulai membangun blok aliansi demokratik dengan
elemen-elemen sipil lainnya. Salah satu persoalan paling serius gerakan
mahasiswa pasca-reformasi 98 adalah kelemahannya dalam membangun isu kolektif
dan berjejaring dengan kelompok sipil lainnya, padahal koletivitas gerakan dan
adanya platform bersama (common platform) menjadi prasyarat wajib dalam
mendorong perubahan sosial. Studi Anders Uhlin yang bertajuk “Oposisi
Berserak : Gelombang Demokratisasi Ketiga di Indonesia” menunjukan bahwa
keberhasilan gerakan reformasi 1998 disebabkan keterlibatan berbagai
gerakan-gerakan pro-demokrasi yang meliputi kaum pembangkang elite, kaum
intelektual, LSM, aktivis mahasiswa, pemimpin agama, buruh hingga petani,
semuanya memperjuangkan isu yang sama, demokrasi[13].
Kini, ketika demokrasi yang puluhan tahun berdarah-darah diperjuangkan terus digerogoti
gerakan kontra demokrasi ala Neo-Orbais, maka sekali lagi gerakan mahasiswa akan
membela demokrasi dengan aksi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Arrobi, Zaki, 2012. Mahasiswa Merajut Asa : Antara Pemikiran dan
Aksi. Yogyakarta. Penerbit Bulaksumur Empat.
JA,
Denny. 2006. Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda Tahun 80-an.
Yogyakarta. LkiS
Habibie,
jusuf, 2006, “Detik-Detik yang Menentukan : Jalan Panjang Indonesia Menuju
Demokrasi”, Jakarta. The Habibie Center
Hamid, Usman dan AM Priyono , 2012. “Indonesia Pasca-Reformasi :
Perspektif Tiga Indonesianis dalam “Memperbaiki Mutu Demokrasi di
Indonesia”, Jakarta. Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina
Musa,
Usman, 2011. Dalam makalah “Gerakan Mahasiswa dari Cordoba Hingga Tiananmen”
Hadiz, Vedi.
(2005). Dinamika Kekuasaan : Ekonomi
Politik Paska Orde Baru. Jakarta : LP3ES
Sudjito, Arie
dan Arbi Sanit, 1997. Pergolakan Melawan Kekuasaan. Yogyakarta. Pustaka
Pelajar.
Uhlin.
Anders 1998. Oposisi Berserak : Gelombang Demokratisasi ketiga di Indonesia.
Yogyakarta, Penerbit Mizan.
Internet
Michelle
An Miller, 2013, Indonesian Youth in the post-1998 era of Democratization
di akses dari http: //
english.alarabiya.net/views/2012/04/03/205067.html di
akses pada tanggal 20 Mei 2013 Pukul 13.00 WIB
“Senyum Soeharto” dalam
Indoprogress diakses dari http://indoprogress.com/senyum-soeharto/pada
tanggal 19 Mei 2013 Pukul 17.00 WIB
Laporan
Riset
Corruption
Perception Index Report. 2012. Transparency International
Kontras and ICTJ. 2012. “Derailed : Transitional Justice in
Indonesia Since the Fall of Soeharto :Executive Summary and Recomendations”.
Kontras dan ICTJ
[1]
Mahasiswa Sosiologi Fisipol UGM, saat ini di amanahi sebagai Sekretaris
Jenderal Dewan Mahasiswa Fisipol UGM 2013, disampaikan pada Diskusi “Refleksi
Reformasi” Institute For Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta, 21 Mei 2013
[2] Bacharudin
Jusuf Habibie, 2006, “Detik-Detik yang Menentukan : Jalan Panjang Indonesia
Menuju Demokrasi”, Jakarta. The Habibie Center
[3] “Senyum
Soeharto” dalam Indoprogress diakses dari http://indoprogress.com/senyum-soeharto/pada
tanggal 19 Mei 2013 Pukul 17.00 WIB
[4]
Corruption Perception Index Report. 2012. Transparency International
[6] Kontras
and ICTJ. 2012. “Derailed : Transitional Justice in Indonesia Since the Fall
of Soeharto :Executive Summary and Recomendations”. Kontras
[7] Usman
Hamid dan AM Priyono, 2012. “Indonesia Pasca-Reformasi : Perspektif Tiga
Indonesianis dalam “Memperbaiki Mutu Demokrasi di Indonesia”, Jakarta. Pusat
Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina
[8] Adie
Usman Musa, 2011. Dalam makalah “Gerakan Mahasiswa dari Cordoba ke Tiananmen”
[9] Arie
Sudjito dan Arbi Sanit, 1997. Pergolakan Melawan Kekuasaan. Yogyakarta. Pustaka
Pelajar.
[10] Zaki
Arrobi, 2012. Mahasiswa Merajut Asa : Antara Pemikiran dan Aksi. Yogyakarta.
Penerbit Bulaksumur Empat.
[11] Denny
JA. 2006. Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda Tahun 80-an. Yogyakarta. LkiS
[12]
Michelle An Miller, 2013, Indonesian Youth in the post-1998 era of
Democratization di akses dari http: // english.alarabiya.net/views/2012/04/03/205067.html
[13] Anders
Uhlin. 1998. Oposisi Berserak : Gelombang Demokratisasi ketiga di Indonesia.
Yogyakarta, Penerbit Mizan.