Sabtu, 01 Juni 2013

“Membela Demokrasi dengan Aksi"


                 Oleh M Zaki Arrobi[1]
Pada tanggal 19 Mei 1998 ribuan mahasiswa bersama rakyat turun memadati jalan jalan di ibu kota Jakarta. Mereka menuntut mundurnya Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun, ribuan massa ini akhirnya berhasil menduduki gedung DPR-MPR sebagai simbol matinya kedaulatan rakyat selama Orde Baru, sementara mahasiswa dan rakyat berunjuk rasa di jalanan, di Istana Negara Soeharto memanggil tokoh-tokoh nasional untuk membahas situasi politik terkini. Sebelumnya pada tanggal 12 Mei demonstrasi besar besaran menuntut Soeharto mundur berujung pada tewasnya empat mahasiswa dari Universitas Trisakti akibat terjangan timah panas senapan tentara, mereka gugur sebagai pahlawan reformasi. Klimaksnya, pada tanggal 21Mei di Istana Negara Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan Presiden, pengumuman ini disambut suka cita seluruh rakyat Indonesia, laju gerbong bangsa Indonesia terus melaju menuju babak baru era demokratisasi. Peristiwa heroik ini kemudian dalam teks-teks sejarah nasional disebut sebagai “Gerakan Reformasi 1998” dengan aktor utamanya adalah gerakan mahasiswa, didukung elemen-elemen sipil pro-demokrasi lainnya. Gerakan reformasi sendiri mengusung Enam Agenda Reformasi Bangsa yakni, Adili Soeharto dan kroni-kroninya, Tegakkan Supremasi Hukum, Cabut Dwi Fungsi ABRI, Pemberantasan KKN, Amandemen UUD 1945, dan Otonomi Seluas-luasnya bagi daerah[2].
Lima belas tahun setelah reformasi bergulir potret kebangsaan kita sayangnya belum menggembirakan bagi rakyat. Kesejahteraan kian jauh dari perut-perut rakyat, penegakkan hukum amburadul, korupsi menjadi ‘moralitas baru’ bangsa, politik serba transaksional, penuh kartel dan tuna visi, sementara kohesi-kohesi sosial dalam masyarakat kian menipis akibat merebaknya kekerasan bermotif primordialisme. Ditengah tengah kondisi demikian, gerakan reformasi mulai dipertanyakan ulang, diam diam rakyat memendam semacam kerinduan pada zaman Orde Baru yang dicitrakan dengan “apa-apa murah”, hidup damai tenteram dan terjamin. Selebaran gambar, stiker, poster bahkan kaos bergambar foto Soeharto dengan tulisan “Piye Kabare Le? Enak Jamanku Tho?” akhir-akhir ini marak beredar di masyarakat kita. Beberapa saat lalu, tepatnya pada 1 Maret 2013 Patung dan Rumah Sejarah Jendral Soeharto diresmikan di desa Kemusuk, Bantul, Yogyakarta, tanah kelahirannya[3]. Sebelumnya pada tahun 2010 Jenderal Soeharto sempat diusulkan untuk menjadi “Pahlawan Nasional” oleh beberapa parpol di parlemen. Apa yang sebenernya terjadi?benarkah ini rangkaian kebetulan semata? Jawabanya tidak. Serangkaian peristiwa di atas menunjukan adanya gerakan sistematis untuk menghidupkan romantisme rakyat pada Orde Baru, dari cara cara politik praktis seperti upaya memberikan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto hingga melalui jalur budaya seperti kampanye sosial yang mudah dicerna masyarakat.  Kondisi demikian menggiring kita pada pertanyaan-pertanyaan “apa yang salah dengan reformasi..? benarkah reformasi 15 tahun lalu gagal membawa perubahan di negeri ini? Pertanyaan di atas hari hari ini menjadi sangat relevan untuk dijawab secara komprehensif sebagai refleksi dan koreksi kritis atas jalannya reformasi selama 15 tahun belakangan, sekaligus sebagai basis untuk melakukan wacana tanding (counter discourse) terhadap gerakan sistematis menghidupkan memori rezim Orde Baru.
Jika dilihat secara kritis sesungguhnya haruslah diakui bahwa gerakan reformasi 1998 belumlah memenuhi cita-cita besarnya untuk menciptakan tatanan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Dari enam agenda reformasi, praktis hanya agenda pemisahan dwi fungsi ABRI dan Amandemen UUD 1945 saja yang boleh dikatakan relatif berhasil. Pemberian otonomi seluas-luasnya bagi daerah memang telah terpenuhi, namun otonomi daerah alih alih menciptakan memberdayakan masyarakat lokal, justru menciptakan ‘raja-raja lokal’ dan mendesentralisasi korupsi ke daerah-daerah. Agenda pengadilan Soeharto  sudah jelas tak memungkinkan lagi, sementara agenda pemberantasan KKN dan penegakkan Supremasi Hukum boleh dibilang gagal total. Indeks Persepsi Korupsi (Coruption Perception Index/CPI) masih rendah, menurut Transparency International CPI Indonesia baru di skor 32, alias menempati urutan ke 118 dari 176 negara dalam CPI 2012[4], sementara Supremasi Hukum nampaknya baru ada dalam teks-teks hukum namun tak pernah berbunyi ketika diterapkan. Dalam bidang politik, alih alih menuju masyarakat demokratis seperti di cita citakan reformasi justru yang ada sekarang adalah reorganisasi dan reoligarki kekuatan kekuatan pro status quo,saluran kekuasaan negara memang tidak lagi dikuasai oleh para Jenderal dan  apparathick negara namun oleh para  broker dan pialang politik[5]. Sementara itu perlindungan terhadap Hak Azasi Manusia (HAM) pun seolah berjalan ditempat, dalam laporan HAM Indonesia tahun 2012 yang dirillis Kontras menunjukkan masih banyaknya kasus pelanggaran HAM berat pada masa Orde baru yang belum tuntas, seperti kasus Talangsari, Tragedi Semanggi, Operasi Petrus, dan Kasus DOM di Aceh[6], masih misteriusnya kasus pembunuhan Munir dan maraknya kekerasan terhadap kaum minoritas menambah daftar sengkarut persoalan penegakan HAM di Indonesia.
 Dalam praktik berdemokrasi selama lima belas tahun harus diakui ada kesenjangan antara reformasi yang seharusnya (das sein) dan reformasi yang senyatanya (das sollen). Ada disparitas antara cita-cita reformasi dan output yang dihasilkan reformasi. Kesenjangan inilah yang dieksploitasi oleh antek-antek sisa kekuatan Orde Baru yang sekarang bertebaran dalam berbagai kelompok sosial. Mitos kesejahteraan, pertumbuhan ekonomi, tertib sosial dan harmoni di zaman Orde Baru dihidupkan kembali, sambil mengatakan bahwa reformasi sama sekali tak membawa perubahan signifikan dalam masyarakat. Gerakan sistematis Neo-Orbais ini sesungguhnya sedang melakukan amputasi terhadap sistem politik demokrasi yang sedang berjalan di Indonesia, proses pendalaman demokrasi (deepening democracy) mendapat tantangan dari kelompok-kelompok ini. Padahal demokrasi kita belumlah terkonsolidasi dengan baik. Bahkan menurut Gerry Van Klinken disebut “demokrasi patronase” (patronage democray), demokrasi ini bermutu rendah dan gagal merombak tatanan sosial yang penuh ketimpangan, yang dibangun di atas jaringan klientelistik yang mengasingkan rakyat miskin dengan elite-elite lokal yang kekuasaannya berasal dari negara, dengan praktik politik yang ditandai oleh kegiatan rent-seeking dan penuh potensi kekerasan, serta masih dominannya identitas primordial dibanding kesadaran warga[7]. Restrukturisasi negara memang memperluas partisipasi masyarakat, namun gerakan reformasi dalam beberapa derajat justru melemahkan kelas sebagai basis identitas sosial dan aksi kolektif, akibatnya kepentingan industri kapitalisme lah yang paling banyak meneguk keuntungan dari kondisi ini. Ketidakadilan akses dan sumber daya terjadi, rakyat semakin termarjinalisasi. Di tengah kondisi demikian, elemen-elemen sipil pro-demokrasi penggerak gerakan reformasi harusnya mulai berbenah diri, melakukan otokritik gerakannya dan menata ulang program-program sosial-politiknya untuk mengembalikan ‘kereta reformasi’ menuju rel terciptanya tatanan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.  
Salah satu elemen sipil utama dalam gerakan reformasi 1998 adalah gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa adalah variabel penting dalam perubahan sosial-politik di berbagai negara. Di Perancis mahasiswa mempelopori “Gerakan Mei 68” yang akhirnya berhasil memaksa mundur rezim De Gaulle, di China gerakan mahasiswa menuntut demokratisasi politik dalam peristiwa monumental 4 Juni 1989 di lapangan Tiananmen, di Amerika Latin gerakan mahasiswa di Argentina, Bolivia, Chili dan Brasil berhasil menuntut otonomi universitas dan keterlibatan mahasiswa dalam mengelola administrasi kampus yang dikenal sebagai kontrol bersama (Cogobierno)[8]. Tradisi melawan hegemoni rezim diteruskan gerakan mahasiswa dalam berbagai zaman. Dalam konteks perubahan politik 1998, transformasi gerakan mahasiswa dari tradisi elitisme ke tradisi populisme gerakan berhasil menyatukan berbagai elemen-elemen sipil lainnya untuk bersama-sama meruntuhkan tembok rezim Soeharto pada tahun 1998[9]. Namun sayangnya gerakan mahasiswa pasca reformasi1998 cenderung mengalami ketidakpastian(anomie),gerakan cenderung bergeporak, lemah membangun jejaring, limbung menempatkan posisi, dan terpecah belah (fragmenter)[10].
Gerakan mahasiswa harus melakukan aksi aksi strategis untuk memperbaiki mutu kualitas demokrasi Indonesia, Pertama, melakukan pendidikan demokrasi bagi masyarakat Indonesia. Di tengah disfungsi partai politik dalam melakukan edukasi politik bermakna, gerakan mahasiswa harus turun gunung melakukan edukasi pada masyarakat. Proseduralisme demokrasi Indonesia harus segera diakhiri, praktik politik uang (money politic) harus dilawan dan politisi korup harus diberi sangsi sosial. Pendidikan politik substantif ini dilakukan juga dalam rangka melakukan wacana tanding (counter discourse) terhadap gerakan yang meromantisasi masa Orde Baru. Kedua, menggalakkan kelompok studi dan pemberdayaan masyarakat. Gerakan mahasiswa harus berorientasi gerakan intelektual, namun harus tetap dekat dengan rakyat. Pola gerakan berbasis kelompok studi dan program pemberdayaan masyarakat terbukti sukses ketika kondisi kampus tidak cukup memberikan ruang aktivisme politik. Studi Denny JA menggambarkan aktivisme mahasiswa di tahun 1980an, menunjukan kelompok-kelompok studi dan aksi aksi pemberdayaan yang dilakukan mahasiswa berhasil membangun kesadaran kritis mahasiswa di tengah suasana kampus yang direpresi dan bertekanan akademik tingkat tinggi[11]. Kini situasi nya hampir sama, jika dahulu mahasiswa direpresi dengan kebijakan NKK-BKK, sekarang mahasiswa direpresi dengan berbagai tuntutan akademik standar tingkat tinggi.
Ketiga, Gerakan mahasiswa harus melakukan gerakan-gerakan popular berbasis pemanfaatan media baru dan segmentasi isu. Lanskap sosial-politik gerakan mahasiswa kini sudah berubah, tidak ada lagi common enemy bernama Orde Baru, kebebasan pers, liberalisasi politik dan gelombang media baru harus disadari gerakan mahasiswa. Terutama media baru, kekuatannya harus semakin disadari oleh gerakan mahasiswa. Menurut Michelle An Miller, karakteristik pemuda Indonesia post-Soeharto antara lain tingkat literasi media sosialnya yang sangat tinggi, terlibat dalam isu-isu publik yang spesifik, berjejaring, dan semakin sadar dalam menuntut hak-haknya sebagai warga negara[12]. Kondisi ini harus dibaca gerakan mahasiswa dengan menciptakan gerakan-gerakan popular berbasis isu sektoral seperti, isu Hak Azasi Manusia, isu kesehatan publik, Anti-Korupsi, Isu HIV-AIDS, isu perdamaian dan sebagainya. Isu strategis ini harus dikemas (packaging) dengan elegan dan cerdas melalui sosial media.
Keempat, Gerakan harus memulai membangun blok aliansi demokratik dengan elemen-elemen sipil lainnya. Salah satu persoalan paling serius gerakan mahasiswa pasca-reformasi 98 adalah kelemahannya dalam membangun isu kolektif dan berjejaring dengan kelompok sipil lainnya, padahal koletivitas gerakan dan adanya platform bersama (common platform) menjadi prasyarat wajib dalam mendorong perubahan sosial. Studi Anders Uhlin yang bertajuk “Oposisi Berserak : Gelombang Demokratisasi Ketiga di Indonesia” menunjukan bahwa keberhasilan gerakan reformasi 1998 disebabkan keterlibatan berbagai gerakan-gerakan pro-demokrasi yang meliputi kaum pembangkang elite, kaum intelektual, LSM, aktivis mahasiswa, pemimpin agama, buruh hingga petani, semuanya memperjuangkan isu yang sama, demokrasi[13]. Kini, ketika demokrasi yang puluhan tahun berdarah-darah diperjuangkan terus digerogoti gerakan kontra demokrasi ala Neo-Orbais, maka sekali lagi gerakan mahasiswa akan membela demokrasi dengan aksi.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Arrobi, Zaki, 2012. Mahasiswa Merajut Asa : Antara Pemikiran dan Aksi. Yogyakarta. Penerbit Bulaksumur Empat.

JA, Denny. 2006. Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda Tahun 80-an. Yogyakarta. LkiS
Habibie, jusuf, 2006, “Detik-Detik yang Menentukan : Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi”, Jakarta. The Habibie Center
Hamid, Usman dan AM Priyono , 2012. “Indonesia Pasca-Reformasi : Perspektif Tiga Indonesianis dalam “Memperbaiki Mutu Demokrasi di Indonesia”, Jakarta. Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina

Musa, Usman, 2011. Dalam makalah “Gerakan Mahasiswa dari Cordoba Hingga Tiananmen”
Hadiz, Vedi. (2005).  Dinamika Kekuasaan : Ekonomi Politik Paska Orde Baru. Jakarta : LP3ES
Sudjito, Arie dan Arbi Sanit, 1997. Pergolakan Melawan Kekuasaan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Uhlin. Anders 1998. Oposisi Berserak : Gelombang Demokratisasi ketiga di Indonesia. Yogyakarta, Penerbit Mizan.


Internet
Michelle An Miller, 2013, Indonesian Youth in the post-1998 era of Democratization di akses dari http: // english.alarabiya.net/views/2012/04/03/205067.html di akses pada tanggal 20 Mei 2013 Pukul 13.00 WIB
“Senyum Soeharto” dalam Indoprogress diakses dari  http://indoprogress.com/senyum-soeharto/pada tanggal 19 Mei 2013 Pukul 17.00 WIB
Laporan Riset
Corruption Perception Index Report. 2012. Transparency International
Kontras and ICTJ. 2012. “Derailed : Transitional Justice in Indonesia Since the Fall of Soeharto :Executive Summary and Recomendations”. Kontras dan ICTJ




[1] Mahasiswa Sosiologi Fisipol UGM, saat ini di amanahi sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Mahasiswa Fisipol UGM 2013, disampaikan pada Diskusi “Refleksi Reformasi” Institute For Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta, 21 Mei 2013
[2] Bacharudin Jusuf Habibie, 2006, “Detik-Detik yang Menentukan : Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi”, Jakarta. The Habibie Center
[3] “Senyum Soeharto” dalam Indoprogress diakses dari  http://indoprogress.com/senyum-soeharto/pada tanggal 19 Mei 2013 Pukul 17.00 WIB
[4] Corruption Perception Index Report. 2012. Transparency International
[5] Vedi Hadiz. (2005).  Dinamika Kekuasaan : Ekonomi Politik Paska Orde Baru. Jakarta : LP3ES

[6] Kontras and ICTJ. 2012. “Derailed : Transitional Justice in Indonesia Since the Fall of Soeharto :Executive Summary and Recomendations”. Kontras
[7] Usman Hamid dan AM Priyono, 2012. “Indonesia Pasca-Reformasi : Perspektif Tiga Indonesianis dalam “Memperbaiki Mutu Demokrasi di Indonesia”, Jakarta. Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina
[8] Adie Usman Musa, 2011. Dalam makalah “Gerakan Mahasiswa dari Cordoba ke Tiananmen”
[9] Arie Sudjito dan Arbi Sanit, 1997. Pergolakan Melawan Kekuasaan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
[10] Zaki Arrobi, 2012. Mahasiswa Merajut Asa : Antara Pemikiran dan Aksi. Yogyakarta. Penerbit Bulaksumur Empat.
[11] Denny JA. 2006. Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda Tahun 80-an. Yogyakarta. LkiS
[12] Michelle An Miller, 2013, Indonesian Youth in the post-1998 era of Democratization di akses dari http: // english.alarabiya.net/views/2012/04/03/205067.html
[13] Anders Uhlin. 1998. Oposisi Berserak : Gelombang Demokratisasi ketiga di Indonesia. Yogyakarta, Penerbit Mizan.

Partai Politik, Hasrat Kuasa dan Korupsi

Tahun 2013 adalah tahun kritis politik. Pernyataan setengah prediksi klise ini di awal tahun perlahan namun pasti mulai menunjukkan kebenarannya. Belum genap dua bulan tahun 2013 berjalan, sudah banyak ‘gempa politik’ yang mengguncang lanskap perpolitikan Indonesia, yang terbaru kemarin episentrum gempa politik berada di tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apalagi kalau bukan heboh penangkapan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan kasus korupsi import sapi yang membelitnya. Kasus korupsi politik yang demikian sesungguhnya bukan barang baru bagi publik, korupsi politik yang melibatkan petinggi partai adalah lagu lama yang selalu digubah oleh para koruptor, sebelumnya kasus korupsi politik telah terlebih dahulu melanda partai Demokrat, PAN, Golkar, PDI P dan PPP. Namun kali ini agaknya paling istimewa, disebabkan Ketua/Presiden partai dapat langsung ditangkap dan digelandang ke KPK, satu prestasi KPK yang patut diacungi jempol.
Semua partai politik adalah pemburu kekuasaan. Ini tidak dapat dipungkiri oleh siapapun, sebab hakikat eksistensi partai politik adalah berkuasa, kalau ada parpol yang tidak ingin berkuasa itu justru abnormal. Hasrat berkuasa (will to power) menjadi poros segala aktivitas organisasi kepartaian dimanapun dia berada. Oleh karenanya menjadi relevan untuk mengajukan proposisi legendaris Lord Acton bahwa kekuasan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung absolut korup (power tend to corrupt and absolute power corrupt absolutely). Jadi kecenderungan partai politik untuk melakukan tindak korupsi ini memang sudah ada sejak rahim kelahirannya. Jadi tindakan korupsi yang dilakukan oleh para petinggi partai adalah tindakan institusional/kelembagaan organisasi, bukan semata mata tindakan kriminal individu seperti selalu dijadikan pembelaan oleh para pimpinan partai jika ada kadernya yang tersandung korupsi. Nalar akal sehat kita jangan mau dikelabui dengan argumentasi tak logis semacam ini.
Namun untuk meredam kecenderungan korupsi pada partai politik, dalam sistem politik demokrasi sesungguhnya menyediakan mekanisme akuntabilitas, transparansi, kompetisi sehat dan representasi yang mengakar untuk meminimalisir ‘cacat bawaan’ ini. Namun agaknya mekanisme yang disediakan demokrasi ini kini justru tidak dijalankan oleh parpol. Lihatlah misalkan dalam verifikasi parpol untuk pemilihan umum 2014, parpol hanya berlomba lomba memenuhi kualifikasi teknis administratif semata agar berhak mengikuti pemilu, sementara pendidikan politik, pertanggungjawaban publik, proses kaderisasi, dan fungsi artikulasi kepentingan lalai dijalankan. Singkatnya partai politik hanya sibuk memburu kekuasaan untuk kepentingan golongannya, sementara nilai nilai dan prinsip prinsip berdemokrasi yang harus dipenuhi seharusnya justru di buang ke keranjang sampah sejarah. Alhasil parpol hanya menjadi arena perebutan kuasa dan kepentingan, sementara rakyat dan demokrasi hanya menjadi retorika hambar dalam pidato pidato politik belaka.
Fenomena ini jika terus dilanjutkan akan menggiring kita pada apa yang disebut Yudi Latif sebagai “demokrasi padat modal”. Dalam ‘demokrasi padat modal’ substansi ide dan gagasan membangun bangsa tidak penting lagi, tergusur oleh kekuatan hegemonik kuasa modal. Kedalaman gagasan politik ditaklukkan oleh megahnya desain pencitraan media, kebersahajaan yang menjadi tauladan digusur kemewahan hidup elit, sementara transparansi dan akuntabilitas publik di abaikan begitu saja, lantas suara rakyat bisa dengan mudah ‘dibeli’ demi secuil kekuasaan.  Saat mandat rakyat dikhianati, saat itulah label parpol sebagai pilar demokrasi harus segera dilucuti.

Kembalikan Imajinasi Politik ke Arena Gagasan!

Mencermati kondisi perpolitikan di tanah air akhir-akhir ini nampaknya hanya akan menggiring kita pada rasa frustrasi dan pesimistis belaka. Betapa tidak, perpolitikan tanah air selalu membuat ‘heboh’ dan ‘gaduh’ rakyat, bukan karena prestasi dan kinerjanya yang ciamik namun justru karena problem demi problem yang membekapnya.
Paling hangat tentunya penetapan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum menjadi tersangka oleh KPK dalam kasus proyek Hambalang membuat kita pilu sekaligus marah. Persoalan korupsi politik, kisruh internal partai politik, kasus pajak Presiden, hingga kisruh pemilu menjadi ‘sedikit’ dari daftar panjang problem politik negeri ini.
Persoalan persoalan di atas selalu menghiasi media massa kita dan ‘berhasil’ membangun potret imajiner masyarakat kita tentang politik yang serba negatif. Politik Indonesia dipandang tidak lebih dari arena perebutan kekuasaan, serba transaksional, penuh intrik dan manipulasi serta selalu mengabaikan kepentingan rakyat banyak. Persepsi publik yang serba negatif terhadap politik sesungguhnya amat berbahaya jika terus berkembang dalam masyarakat kita, selain melemahkan kepercayaan publik (public trust) terhadap pemerintah, gejala ini jika terus dibiarkan dalam jangka panjang akan mengancam masa depan sistem demokrasi kita.
Apakah politik memang ditakdirkan bernasib demikian? Selalu membuat ‘gaduh’ dan justru menyengsarakan rakyat? Menurut saya jawabannya sama sekali tidak.
Politik bukanlah semata-mata arena pertarungan kuasa, perebutan modal, lobi-lobi tingkat tinggi, atau perkara “siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana”, khas pengertian kaum pragmatis Laswellian. Politik adalah arena kontestasi gagasan.
Para gladiator politik akan beradu ide dan gagasan dalam arena politik, di sini ide dan nilai akan dikonfontasikan sedemikian rupa dalam sebuah ruang yang setara dan deliberatif. Dalam diskursus inilah kehendak publik akan ditemukan, melalui sebuah proses dialektika yang panjang dalam ruang yang demokratis, di dalam proses dialektik inilah imajinasi politik menjadi prasyarat mutlak (conditio sine a qua non) berdemokrasi. Imajinasi politik adalah sebuah ide rekayasa sosial yang dapat diterima publik secara luas dan mampu menggugah kesadaran rakyat.
Kita ambil contoh misalkan pada tahun 1998 jelang keruntuhan Orde Baru, imajinasi politik berhasil dibangun oleh gerakan rakyat dan gerakan mahasiswa, imajinasi politik ini diterjemahkan dalam jargon ‘demokrasi’, ‘reformasi’, bahkan ‘revolusi’, rakyat tergerak oleh ide-ide besar ini, dan mereka ‘berpolitik’ dengan penuh antusiasme dan idealisme tinggi. Imajinasi politik akan memberikan proyeksi masa depan dan menggugah seluruh elemen-elemen dalam masyarakat untuk bersama sama mencapainya.
Politik adalah seni membumikan imajinasi. Seni untuk memangkas jarak antara idealitas dan realitas. Dia ada untuk menjembatani ide dan praksis. Namun naasnya, potret perpolitikan di tanah air menggambarkan fenomena ‘defisit imajinasi’ dalam praktik berpolitik. Kegaduhan politik, gejala intoleransi, manipulasi, intrik hingga maraknya korupsi politik menjadi penanda bahwa politik kita miskin imajinasi.
Politik direduksi hanya semata mata persoalan tawar menawar kepentingan yang transaksional saja, seperti lobi-lobi di parlemen, koalisi antar partai, berebut proyek di kementerian, hingga saling manuver dan berebut kuasa. Imajinasi politik nyaris tidak pernah hadir dalam perdebatan-perdebatan politik di ruang publik, tidak ada gagasan gagasan besar yang dikontestasikan demi kemajuan bangsa, tidak ada tawaran konsepsi ideologis yang mampu menggerakkan rakyat.
Politik miskin imajinasi yang demikian seyogyanya harus segera disudahi, demokrasi harus diselamatkan. Demokrasi politik membutuhkan lebih dari sekedar kemampuan negoisasi dan kapital ekonomi, namun jauh lebih penting membutuhkan imajinasi dalam merekayasa perubahan dan kemajuan untuk bangsa.

Demokratisasi Pendidikan Tinggi : Agenda Mendesak Gerakan Mahasiswa


Oleh Mohammad Zaki Arrobi[1]
Rutinitas menyambut Hari Pendidikan Nasional kita biasanya dimulai dengan ramai-ramai membuat check list masalah dunia pendidikan di republik ini. Sekedar mengeja kekisruhan Ujian Nasional, Kurikulum 2013, kontroversi Undang-Undang Pendidikan Tinggi, rendahnya kualitas guru-guru kita, bobroknya infrastruktur sekolah hingga persoalan orientasi pendidikan nasional yang tidak jelas menjadi daftar panjang problematika dunia pendidikan kita. Di antara segudang masalah, kita harus tetap optimis dan yakin bahwa hanya dengan pendidikanlah bangsa ini akan berdikari di lapangan ekonomi, berkepribadian di ranah kebudayaan dan berdaulat di bidang politik. Sebab sudah terlalu lama bangsa ini ‘menganak tirikan’ pendidikan dalam proses pembangunan nasional. ‘Politik sebagai panglima’ pernah bergaung di saat Orde Lama, ‘Ekonomi sebagai panglima’ jaya-jayanya di saat Orde Baru, kini sudah saatnya bangsa Indonesia menjadikan ‘pendidikan sebagai panglima’, sesuai amanat konstitusi kita yang menjadi dasar tujuan bernegara adalah “Mencerdaskan Kehidupan Berbangsa”. Pendidikan mengutip Anies Baswedan menjadi eskalator paling akseleratif dalam melakukan mobilitas vertikal, dan membina sumber daya manusia untuk mendorong  kemajuan sebuah bangsa. Oleh karenanya penting memaknai hari pendidikan nasional kita sebagai upaya reflektif untuk melakukan pembacaan ulang (reinterpretasi) dan memikirkan kembali (rethinking) masalah masalah pendidikan kita dewasa ini, untuk kemudian dijadikan basis intelektual dalam melakukan gerakan-gerakan sosial yang lebih nyata demi perbaikan dunia pendidikan di Indonesia.
Di antara berbagai problem yang melanda dunia pendidikan di Indonesia, saya mengambil sikap bahwa persoalan dunia pendidikan tinggi haruslah mendapat prioritas lebih bagi para kaum intelektual kampus, intelektual muda yang berlabel mahasiswa. Mengapa demikian..? tanpa mengabaikan persoalan persoalan lain, problematika di dunia pendidikan tinggi kita sesungguhnya teramat krusial, menyangkut nasib rakyat dan variabel maha penting dalam mendorong kemajuan Indonesia di masa depan. Pendidikan tinggi mampu menjadi alat untuk melakukan mobilitas sosial vertikal berjuta juta manusia Indonesia, apalagi kondisi sumber daya manusia kita yang masih memprihatinkan. Pada tahun 2013 misalkan, Human Development Index (HDI) Indonesia baru mencapai skor 0,629, menempati peringkat 121 dari 187 negara-negara di dunia. Angka IPM ini memang naik dibanding tahun sebelumnya, namun capaian Indonesia ini masih tetap lebih rendah daripada lima negara di ASEAN, sebagai pembanding saja Singapura menempati posisi ke 18 dunia, Malasyia di urutan 64, Thailand dan Filiphina masing masing di posisi 103 dan 114[2]. Indeks Pembangunan Manusia diukur berdasarkan tiga kriteria utama, pendidikan, kondisi hidup layak dan angka harapan hidup manusia. Angka partisipasi pendidikan tinggi kita juga masih rendah, pada data BPS tahun 2010, angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia sebesar 16,35 persen dan angka partisipasi murni perguruan tinggi adalah 11,01 persen. Sementara itu jumlah mahasiswa di Indonesia pada tahun 2011 baru mencapai 4,8 juta orang, dan bila dihitung terhadap populasi penduduk yang berusia 19-24 tahun, maka angka partisipasi kasarnya baru sekitar 18,4 persen[3]. Data-data ini menunjukan masih rendahnya akses warga negara yang berusia 19-24 tahun Indonesia terhadap pendidikan tinggi.
Atas dasar fakta di ataslah sudah seharusnya agenda agenda strategis pendidikan tinggi di Indonesia harus mendapar prioritas. Selain persoalan buruk dan rendahnya kualitas sdm kita, institusi pendidikan tinggi sesungguhnya juga mampu memberikan ‘habitus’ yang komplet dalam menempa manusia manusia Indonesia. Habitus inilah yang disebut kampus, dalam kampus para mahasiswa dari berbagai latar belakang bertemu, lintas geografis, lintas etnis, lintas agama bahkan lintas ideologi politik. Dalam ruang yang deliberatif tersebut relasi relasi sosial yang inklusif dan toleran terhadap perbedaan akan mudah terbentuk dibanding lingkungan lain[4]. Dalam kampus, mahasiswa menempa modal intelektual, modal sosial dan modal budayanya, sebelum dia terjun langsung dalam masyarakat. Kampus melalui organisasi kemahasiswaannya juga menjadi sarana perkaderan pemimpin-pemimpin bangsa paling efektif, melalui kampuslah lahir pemimpin pemimpin masa depan Indonesia. Oleh karenanya gerakan mahasiswa sebagai eskponen gerakan intelektual kampus haruslah menempatkan isu pendidikan tinggi sebagai agenda strategis gerakannya.
Gerakan mahasiswa pasca-1998 seolah mengalami disorientasi. Gerakan mahasiswa terjebak romantisasi perjuangan angkatan 98 dan 66, mengalami pengeroposan dari dalam, terfragementasi dan gagal membangun gerakan gerakan kolektif dalam merespon isu isu kebangsaan. Konteks sosial-politik yang berubah diyakini belum terlalu disadari gerakan mahasiswa saat ini, ketiadaan musuh bersama (common enemy), era keterbukaan media, liberalisasi politik dan pers yang semakin garang membuat gerakan mahasiswa limbung menempatkan posisinya diantara kekuatan kekuatan masyarakat sipil lainnya. Akibatnya gerakannya cenderung bergerak sporadis, tanpa perencanaan yang matang dan sangat mudah dimainkan agenda setting media massa[5]. Padahal dalam iklim politik demokratis, dimana semua elemen elemen sipil dapat bersuara dan mengartikulasikan kepentingannya, yang terpenting bukanlah jumlah massa lagi namun konsistensi pengawalan isu isu yang spesifik dan kontinu. Disinilah peranan gerakan mahasiswa harus berada, Gerakan Mahasiswa harus mulai mengawal isu isu strategis kebangsaan yang spesifik dan dianggap paling krusial, energi internal dalam gerakan harus dikelola dengan baik agar mampu tertransformasikan dalam aksi aksi kolektif. Spesifikasi isu ini tidak mereduksi peranan dan perjuangan gerakan kemahasiswaan, namun isu-isu yang spesifik ini haruslah diderivasi dari gagasan besar yang diusung gerakan mahasiswa, jadi isu ini integral dengan gagasan besar kebangsaan yang diusung gerakan mahasiswa. Model gerakan seperti ini mungkin akan menyerupai varian gerakan sosial baru (new social movement), dimana isu dalam gerakan menjadi sangat fragmented dan digerakkan oleh kekuatan kelas menengah (middle class)[6].
Pengawalan isu spesifik yang kontinue dan konsisten akan membuat gerakan mahasiswa mampu mempengaruhi proses proses politik yang menentukan kebijakan publik bagi rakyat Indonesia. Dalam paper ini kami menawarkan konsepsi “Mengawal Demokrasi Kita” sebagai tawaran alternasi perjuangan gerakan mahasiswa kontemporer, ide ini lahir dari kegelisahan akan potret kegagalan sistem demokrasi dalam menghadirkan kesejahteraan, keadilan sosial, tertib sosial dan jaminan keamanan bagi warga negaranya. Padahal demokrasi sesungguhnya dihadirkan dalam konteks pemenuhan tujuan tujuan di atas, disinilah kontrol dan partisipasi elemen-elemen sipil yang kritis, dan gerakan mahasiswa relevan mengambil posisi ini. Gagasan besar “Mengawal Demokrasi Kita” di break down menjadi tiga segmen, yakni pengawalan demokrasi politik, demokrasi pendidikan dan demokrasi ekonomi.
Dalam konteks inilah demokratisasi pendidikan menjadi agenda strategis gerakan mahasiswa kontemporer. Demokratisasi pendidikan adalah upaya menjadikan pendidikan sebagai hak dasar setiap warga negara tanpa memandang status sosial, ekonomi, etnis, agama maupun latar belakang primordial, demokratisasi pendidikan juga merupakan upaya menghadirkan pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada warga negara untuk mencapai tingkat pendidikan sekolah yang setinggi tingginya sesuai dengan kemampuannya, nafas demokratisasi pendidikan bersumber dari Pasal  31 UUD 1945 Ayat 1 bahwa “Setiap Warga Negara Berhak mendapat pendidikan tinggi” dan ayat 3 “Pemerintah wajib mengadakan suatu mengusakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta aklal mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”
Secara struktural, agenda perjuangan demokratisasi pendidikan setidaknya harus diletakkan dalam tiga konteks strategis, Pertama, gerakan menolak segala upaya komersialisasi pendidikan tinggi dalam bentuk apapun. Undang Undang BHP memang telah dihapus, UU BHP ini menyeragamkan bentuk otonomi pendidikan di segala jenjang sehingga membuka peluang komersialisasi dan komodifikasi pendidikan,  namun bukan berarti bahwa penetrasi kekuatan kapital sudah tidak ada lagi. Undang Undang Pendidikan Tinggi Nomor 12 tahun 2012 sebagai gantinya pun tidak luput dari potensi komersialisasi, meski sudah ada garansi penerimaan mahasiswa kurang mampu sebesar 20%, namun potensi komersialisasi tetap terbuka jika impelementasinya tidak diawasi. Peluang komersialisasi misalnya terlihat dalam Pasal 73 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru diluar jalur nasional dan Pasal 90 tentang Perguruan Tingga Asing yang diperbolehkan masuk ke Indonesia, dianggap berpotensi membuka celah komersialisasi, serta Pasal 76 ayat (2c) yang terdapat ketentuan tentang sistem student loan, yaitu pinjaman tanpa bunga bagi mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi. Hal ini tidak sesuia dengan tujuan pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa.
Kedua, gerakan untuk terus mendorong independensi institusi pendidikan tinggi agar terbebas dari kooptasi kekuatan pasar dan negara. Tensi politik jelang suksesi kepemimpinan nasional 2014 dikhawatirkan akan ikut menyeret dunia pendidikan tinggi ke dalam ranah politik praktis, belum lagi watak negara yang kooptatif terhadap institusi ilmiah perlu dihindari. Institusi pendidikan tinggi juga harus dijaga independensinya dari penetrasi kekuatan pasar yang dahsyat, komodifikasi pendidikan sebagaimana dijelaskan oleh George Ritzer sebagai fenomena Mc Donaldisasi Pendidikan harus dihindari, dimana pendidikan dikuantifikasi, mengikuti logika pasar, bergantung pada teknologi dan mengutamakan prinsip efisiensi semata[7]. Ketiga, menjamin aksesbilitas pendidikan tinggi terhadap semua lapisan sosial masyarakat. Pendidikan tinggi harus terjangkau dan mudah di akses oleh lapisan sosial paling bawah sekalipun dalam struktur masyarakat kita, konsep Education For All harus diterapkan betul oleh institusi pendidikan tinggi, pendidikan tinggi tidak boleh membuat garis demarkasi antara golongan the have dan golongan the have not.  Dalam konteks ini penerapan Uang Kuliah Tunggal yang akan dimulai tahun akademik 2013-14 ini perlu dikawal terus agar semangat mendemokratisasikan pendidikan tinggi tetap terjaga. Penerapan UKT harus memperhatikan prinsip keadilan sosial dalam penetapan biaya kuliah mahasiswa. Pendidikan tinggi harus mengubur jurang ketidakadilan diantara warga negara.
Di ranah praktik kebudayaan, seharusnya disadari betul bahwa konsepsi demokratisasi pendidikan sebenarnya bukan hanya dalam ranah struktural semata, namun juga bermain di ranah reproduksi kultural dan pengetahuan. Praktik kebudayaan dalam institusi pendidikan termasuk pendidikan tinggi seringkali belumlah mencerminkan prinsip prinsip demokrasi, pendidikan selama ini hanya menjalankan transfer of knowledge semata namun abai terhadap transfer of value, proses belajar mengajar kering dan berjarak degnan realitas sosial nyata, sehingga peserta didik teralienasi dari lingkungan sosial nya. Alih alih mendekatkan dengan masyarakat, pendidikan kita justru memperlebar jurang antara realitas sosial dan ilmu pengetahuan. Sehingga pendidikan hanya menciptakan manusia manusia yang hanya mampu berakrobat intelektual, namun minim praktik sosial yang transformatif. Padahal sesungguhnya tujuan dasar pendidikan menurut Paulo Freire adalah pembebasan. Pendidikan seperti di katakan pejuang kemanusiaan asal Brasil ini, setidaknya harus mampu melakukan dua hal, pertama menjalankan tugasnya untuk memanusiakan kembali manusia (humanisasi) dan kedua membebaskan dari segala keterbelakangan (liberasi)[8].
Pola pengajaran dalam pendidikan harus didorong ke arah dialog yang kritis yang mencerahkan. Dialog kritis inilah yang akan menyadarkan pendidik dan terididik akan realitas kehidupan mereka, merefleksikannya dan menstimulus untuk melakukan pembebasan dari segenap persoalan dalam realitas kehidupan. Proses pembelajaran ini mengedepankan sikap kritis-reflektif dalam membangun kesadaran untuk melakukan proses humanisasi dan liberasi, tujuan akhir dari pendidikan. Jikalau mengacu pada konsepsi pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara yang hari lahirnya selalu kita peringati bersama, pendidikan haruslah Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madyo MangunKusumo, Tut Wuri Handayani yang berarti di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan. Gerakan mahasiswa harus terus memperjuangkan agenda strategis pendidikan tinggi, baik secara struktural maupun kultural, demi menjalankan misi humanisasi dan liberalisasi manusia-manusia Indonesia.
Daftar Pustaka
Arrobi, Zaki. Ed, 2012. Mahasiswa Merajut Asa : Antara Pemikiran dan Aksi, Yogyakarta, Penerbit Bulaksumur Empat.
Freire, Paulo, 1987, Pendidikan Untuk Kaum Tertindas, Jakarta. LP3ES
George Ritzer,2002.  Ketika Kapitalisme Berjingkrak : Telaah Kritis terhadap Gelombang Mc Donaldisasi, Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Sanit, Arbi, 1999. Pergolakan Melawan Kekuasaan : Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan Politik. Yogyakarta. Insist Press dan Pustaka Pelajar
Sing, Rajendra. 2010. Gerakan Sosial Baru. Yogyakarta. Resist Book
Internet
Situs resmi Badan Pusat Statistik Republik Indonesia








[1] Disampaikan dalam Diskusi Publik “Reinventing Our Education” Kamis, 2 Mei 2013 di selenggarakan oleh Dewan Mahasiswa Fisipol dan MAHASAKSI Indonesia, Kampus Bulaksumur Fisipol UGM
[3] Badan Pusat Statistik
[4] Arbi Sanit, 1999. Pergolakan Melawan Kekuasaan : Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan Politik. Yogyakarta. Insist Press dan Pustaka Pelajar

[5] Mohammad Zaki Arrobi Ed, 2012. Mahasiswa Merajut Asa : Antara Pemikiran dan Aksi, Yogyakarta, Penerbit Bulaksumur Empat.
[6] Rajendra Sing. 2010. Gerakan Sosial Baru. Yogyakarta. Resist Book
[7] George Ritzer,2002.  Ketika Kapitalisme Berjingkrak : Telaah Kritis terhadap Gelombang Mc Donaldisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
[8] Paulo Freire, 1987, Pendidikan Untuk Kaum Tertindas, Jakarta. LP3ES

Selasa, 25 Desember 2012

“Belajar (Menjadi) Ideologis dari Film Lentera Merah”


“Belajar (Menjadi) Ideologis dari Film Lentera Merah”
Film Lentera Merah  mengambil tema sentral yang sedang digandrungi masyarakat kita, mistik. Namun bukan sembarang cerita mistik murahan seperti yang banyak diumbar oleh para produser pengejar rupiah yang kering pemaknaan dan sama sekali tidak mengedukasi publik. Film Lentera Merah hadir dengan mengais dan mencoba menyegarkan memori kita kembali akan banyak tragedi kemanusiaan di seputar historisme bangsa kita yang kini menginjak usia 67 tahun. Film ini mengisahkan lembaga pers mahasiswa Universitas Nasional Indonesia bernama ‘Lentera Merah’, pers mahasiswa ini dikenal sebagai pers mahasiswa legendaris yang senantiasa kritis dan radikal terhadap kebijakan kebijakan rezim Orde Baru, tak heran pers ini sempat mengalami pembredelan sebelum kemudian era reformasi membuka tabir kebebasan pers dan berpendapat.
Pers Lentera Merah memiliki slogan “Selalu Berpihak pada Kebenaran”, slogan yang teramat keramat dan sakti bagi siapapun yang mendengarnya. Bagi para punggawa Lentera Merah (LM) slogan “Selalu berpihak pada Kebenaran” memberi semacam kebanggaan dan tekad luar biasa untuk senantiasa mendobrak batas batas kemapanan dalam segala bentuk. Film ini diawali dengan romantika perekrutan terbuka LM bagi anggota anggota baru, LM sangat ketat dan kompetitif dalam menjaring calon anggotanya sehingga selain dengan penugasan kelompok LM mengadakan apa yang disebut sebagai “Malam Inisiasi” bagi calon calon anggota baru. Malam Inisiasi adalah tradisi turun temurun dalam soal perkaderan anggota baru di LM. Disinilah kisah itu dimulai, diceritakan Iqbal selaku Pimred LM menaksir seorang calon anggota baru bernama Risa, namun teman teman Iqbal merasa ada sesuatu yang janggal dengan penampilan Risa yang dingin dan kaku. Risa yang berpembawaan tenang dan dingin perlahan juga mulai menyadari keterancaman eksistensi dirinya dari kakak kakak angkatan nya di LM. Secara misterius satu persatu pengurus inti LM meninggal dengan cara yang janggal, dan puncaknya di malam inisiasi seluruh pengurus inti LM telah terbunuh secara misterius. Singkat cerita ternyata Risa adalah arwah penasaran dari masa lalu, Risa adalah pengurus inti LM angkatan 1965 yang dikenal kritis-radikal berhaluan ke kiri kirian. Pada saat Risa aktif di Lentera Merah, dia dituduh oleh Dewan Alumni LM sebagai antek PKI,sehingga dia harus disingkirkan.  Saat itu situasi bangsa tengah gonjang ganjing akibat terkena gempa politik peristiwa malam satu Oktober, seluruh elemen yang tercium berafiliasi dengan PKI menjadi pesakitan sejarah yang diburu untuk dihabisi dengan cara cara yang tak manusiawi. Risa akhirnya tewas secara mengenaskan akibat perlakuan Dewan Alumni, namun yang ironis teman teman sesama pengurus LM justru ketakutan dan menyembunyikan mayat Risa di sekretariat LM, menguburnya tanpa pernah memberi tahu siapapun. Bersama jasad Risa para pengurus Lentera Merah ikut serta mengubur kebenaran yang selama ini mereka perjuangkan.
Saya tidak akan terlalu membahas kronologi alur film di atas karena mungkin sudah banyak diketahui umum. Namun yang ingin saya sampaikan disini adalah betapa tragedi kemanusiaan dengan tajuk kekuasaan membungkam kebenaran telah  menjadi catatan hitam lembar sejarah bangsa kita. Betapa Risa menjadi potret kecil akan limbungnya suara kebenaran jika berhadapan dengan hegemoniknya rezim penguasa. Risa yang dikenal sebagai mahasiswa kritis-radikal yang banyak menyuarakan suara suara pembebasan membela kaum petani dan marginal, Risa dikenal sering menulis artikel artikel yang membongkar kebusukan tentara yang menghabisi petani petani didesanya justru dianggap sebagai parasit berbahaya yang dapat menularkan virus mematikan berlabel ‘komunsime’. Mengapa hanya memiliki pandangan pandangan Marxis Risa kemudian lantas ‘disingkirkan’ dari organisasi yang digelutinya, mengapa hanya karena membela nasib kaumnya (kaum tani) seseorang layak dihabisi nyawanya..? Saya membayangkan jika hidup di zaman itu, ada apa dengan komunisme..? apa salah saya menjadi seorang komunis..?.. Bukankah komunisme adalah fakta sejarah dalam lembar perjuangan bangsa kita, bukankah gerakan komunisme adalah gerakan yang paling progresif dalam perjuangan antikolonialisme dan antifeodalisme, dua paham yang telah mencengkeram bangsa kita selama ratusan tahun. Komunisme sebagai gerakan politik dan ideologi telah hadir sejak zaman pra kemerdekaan, bahkan komunisme lahir dari rahim organisasi Islam terbesar dan pertama di Indonesia, Serikat Islam. Maka menjadi tidak relevan mengasosiasikan komunisme identik dengan ateisme. Dahulu seorang pemuka agama terkemuka bernama Haji Misbach juga seorang komunis, namun dia tetap menjadi seorang theis (muslim) yang taat. Apalagi jika kita menelisik riwayat hidup Tan Malaka, siapa yang tak kenal Tan Malaka, revolusionis sejati dan bapak republik ini adalah mantan ketua Partai Komunis pertama di Hindia Belanda, namun dia berpendidikan agama yang kuat dan tetap menjadi theis, Tan terkenal dengan ucapannya bahwa “dihadapan Tuhan saya seorang Muslim, namun dihadapan manusia saya seorang komunis”. Sangat ironis jika di abad kemanusiaan dengan dengung dengung persamaan, kebebasan dan persaudaraan masih kita dapati kekerasan akibat perbedaan ideologi hidup, yang agamis menghina kubu liberalis, yang liberalis mengolok ngolok kaum konservatif, yang konservatif menghina kubu revolusioner dan seterusnya begitu, Bisakah kita hidup bersama sama dengan tanpa melihat isi kepala dan pikiran orang lain dan hanya menjadikan tindakan dan sikap sebagai tolak ukur kebaikan dan keburukan sesuatu. Biarkan ideologi terus tumbuh, berkembang, meluap luap dan meledak dalam pikiran pikiran manusia manusia merdeka itu, sebab hanya manusia terpenjara sajalah yang tak berani memelihara ideologi dalam kepalanya..
Refleksi setelah menonton film Lentera Merah, 23.03. 1 Februari 2012
Kota Tegal, Jawa Tengah
Pusat Radikalisme Jawa

Quo Vadis Kaum Intelegensia Indonesia..??


Quo Vadis Kaum Intelegensia Indonesia..??
Dalam alam pikiran jawa cendekiawan memiliki posisi tersendiri dalam sebuah relasi kekuasaan Cendekiawan dalam mitologi jawa menurut Arif Budiman dapatlah ditafsirkan dengan seorang resi dalam posisi relaisonalnya dengan penguasa dan rakyat. Resi menurut kosmologi Jawa adalah orang orang yang memiliki pengetahuan lebih dibanding rakyat kebanyakan, hidupnya dipenuhi penyucian diri, tidak memiliki afiliasi politik dan menjaga independensi pemikiran dan perbuatannya. Sang resi dipercaya mampu membaca ‘tanda-tanda’ zaman, sehingga mempunyai posisi istemewa di mata para penguasa. Suara, tindakan maupun wejangan sang resi akan selalu menjadi masukan para penguasa dalam mengurus negeri dan rakyatanya. Uniknya sang resi hanya akan menyampaikan wejangan (kritik) pada penguasa jika kondisi negerinya dianggap dalam keadaan genting dan berbahaya, sang resi hanya akan turun gunung jika situasi negerinya dianggap sudah abnormal sehingga perlu segera diselamatkan.
Sementara itu menurut Ali Syariati, arsitek revolusi Islam Iran, cendekiawan ditandai dengan sikapnya yang selalu menunjukan keberpihakan kepada kaum yang lemah. Ali Syariati dengan sangat baik menjelaskan peranan kaum cendekiawan di abad 21. Cendekiawan menurutnya berbeda dengan ilmuwan. Ilmuwan merujuk pada para ahli ahli ilmu pengetahuan yang senantiasa menjunjung tinggi prinsip prinspip netralitas, objektivitas dan rasionalitasnya. Ilmuwan dimanapun dia berada akan selalu berusaha menjaga argumentasi ilmiahnya, seorang Sir Isaac Newton akan selalu kukuh mempertahankan teorisasinya tentang hukum gravitasi di bumi. Ilmuwan hadir untuk menjelaskan pada manusia mengenai sebuah gejala atau fenomena baik yang bersifat fisik maupun sosial. Sedangkan cendekiawan menurut Syariati adalah orang orang yang secara sadar membela kepentingan kaum tertindas, kaum terpinggirkan, kaum mustadafien dan lahir dari rahim rakyat jelata. Seorang cendekiawan akan ‘berbicara’ dengan bahasa kaumnya, menggunakan bahasa yang mudah dimengerti kaumnya sehingga membakar semangat perjuangan mereka. Cendekiawan tidak berhenti pada menjelaskan sebuah fenomena, namun lebih jauh berani mengambil ‘sikap’ terhadap sebuah persoalan. Dalam kaidah keilmuan, seorang ilmuwan akan berhenti pada tahap Judgemeent de Fact (menilai fakta) sedangkan cendekiawan akan sampai pada tahap Judgemeent de Vaeluree (menentukan nilai). Dalam bahasa lain, Antonio Gramsci, seorang Neo Marxist asal Italia mengatakannya sebagai ‘intelektual organik’, intelektual yang mau menyatu dan membersamai rakyat, dan tentu saja membela kepentingan kepentingan mereka, bukan intelektual yang ‘sok universal’ dan bebas nilai (free value). Inilah perbedaan terbesar yang berakibat pada tugas kesejarahan yang berbeda, seperti kata Karl Marx kaum ilmuwan hanya akan menafsirkan dunia, sedangkan kaum cendekiawanlah yang akan mengubah dunia.
Sejarah kemanusisaan adalah sejarah kaum cendekiawan. Dari zaman nabi Adam hingga zaman postmodernisme sejarah kemanusiaan selalau diukir oleh pena pena perjuangan kaum cendekiawan yang tercerahkan (raushan fikr). Para raushan fikr selalu membawa obor obor kemausiaan yang menerangi kegelapan zamannya, mendobrak kebusukan stuktur, menentang tiranik penguasa dan memproklamirkan api api kemanusiaan sepanjang zaman. Sejarah para nabi menjadi role model terbaik untuk membuktikannya. Nabi Ibrahim telah membunuh ‘Tuhan-Tuhan’ kaum pagan ribuan abad sebelum Nietzche membunuh ‘Tuhannya” orang eropa, nabi Musa menantang hegemoni kerajaan tiranik Firaun, nabi Isa membawa misi pembebasan kemanusiaaan dan cinta kasih kaum nasrani dan Muhammad SAW memproklamirkan Tauhid sebagai pembebasan terbesar yang pernah ada dalam kesejarahan umat manusia.
Jika dalam kebudayaan Jawa kuno resi memainkan peran strategisnya dalam ‘mengawal’ para penguasa, lantas pertanyaannya dimanakah peranan kaum cendekiawan kita saat ini..?.atau dalam konsepsi Syariati cendikiawan mesti berani ‘mengambil sikap’ dan keberpihakan, bagaimana dengan kaum intelegensia masa kini, beranikah mereka secara tegas membelas kepentingan kaum tertindas atau mereka justru menghamba pada kekuasaan..?, atau jangan jangan sang resi kini telah kehilangan modal terbesarnya, integritas dan independensi. Sudah seharusnya kaum intelegensia bangun dari tidur panjangnya dan bersegera mengambil sikap dan keberpihakannya dalam perjuangan perjuangan kebangsaan.
Kaum intelegensia indonesia sudah seharusnya mengambil tugas kesejarahan para nabi, para cendekiawan dan para raushan fikr di setiap zamannya. Bangsa ini terlalu kecil jika hanya dihuni para ilmuwan bermental kerdil, ilmuwan yang hampa ideologi, ilmuwan yang mengagung-agungkan objektivitas dan netralitas semata, ilmuwan yang melihat objek dari menara gading, bangsa ini membutuhkan pejuang pejuang intelektual yang mampu membebaskan rakyat dari segala ketertindasan, baik ketertindasan struktural ekonomi politik maupun ketertindasan sosial budaya. Sejarah bangsa kita dipenuhi dengan tinta emas idealisme perjuangan perjuangan kaum intelegensia bangsa, mereka yang selalu selalu menempatkan kepentingan kaum lemah, kaum tertindas dan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan, sejarah republik menjadi ensiklopedi terbaik peranan kaum intelegensia berintegritas tinggi Di masa pra kemerdekaan para punggawa intelegensia kita telah menunaikan tugas sejarahnya dengan perjuangan revolusioner ‘mendepak’segala anasir anasir kolonialisme belanda, baik melalui revolusi fisik maupun diplomasi diplomasi politik yang melelahkan. Sementara itu kaum cendikiawan generasi 1966 telah melunasi janji mengisi kemerdekaannya dengan ‘mendobrak’ kemapanan struktur politik Soekarno saat itu yang gagal dalam memperbaiki perekonomian bangsa dan merebaknya korupsi. Sedangkan generasi tahun 1990an telah berani mengambil sikap untuk mengatakan ‘tidak’ pada tirani rezim Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Apa kabar dengan generasi paska reformasi, kemana peranan kaum cendikiawanan. Di saat gelombang demokratisasi menjalar ke seluruh tubuh bangsa, di saat kran kebebasan dibuka dimana mana, di saat masyarakat sipil mulai menunjukan kebangkitannya, sudah seharusnya kaum cendikiawan sekali lagi mengambil ‘sikap’ dan keberpihakannya pada kaum tertindas, tidak hanya untuk melunasi tugas kesejaharahannya, melainkan juga sebagai pertanggungjawaban mereka sebagai kaum pelopor yang telah ditakdirkan Tuhan untuk menjadi garda terdepan perubahan zaman..Billahi Fii Sabilil Haq..Walllahu alam.