Quo Vadis Kaum Intelegensia Indonesia..??
Dalam
alam pikiran jawa cendekiawan memiliki posisi tersendiri dalam sebuah relasi kekuasaan
Cendekiawan dalam mitologi jawa menurut Arif Budiman dapatlah ditafsirkan
dengan seorang resi dalam posisi relaisonalnya dengan penguasa dan rakyat.
Resi menurut kosmologi Jawa adalah
orang orang yang memiliki pengetahuan lebih dibanding rakyat kebanyakan,
hidupnya dipenuhi penyucian diri, tidak memiliki afiliasi politik dan menjaga
independensi pemikiran dan perbuatannya. Sang resi dipercaya mampu membaca ‘tanda-tanda’ zaman, sehingga
mempunyai posisi istemewa di mata para penguasa. Suara, tindakan maupun
wejangan sang resi akan selalu menjadi masukan para penguasa dalam mengurus
negeri dan rakyatanya. Uniknya sang resi hanya akan menyampaikan wejangan
(kritik) pada penguasa jika kondisi negerinya dianggap dalam keadaan genting
dan berbahaya, sang resi hanya akan ‘turun
gunung’ jika situasi negerinya
dianggap sudah abnormal sehingga perlu segera diselamatkan.
Sementara
itu menurut Ali Syariati, arsitek revolusi Islam Iran, cendekiawan ditandai
dengan sikapnya yang selalu menunjukan keberpihakan kepada kaum yang lemah.
Ali Syariati dengan sangat baik menjelaskan peranan kaum cendekiawan di abad
21. Cendekiawan menurutnya berbeda dengan ilmuwan. Ilmuwan merujuk pada para
ahli ahli ilmu pengetahuan yang senantiasa menjunjung tinggi prinsip prinspip
netralitas, objektivitas dan rasionalitasnya. Ilmuwan dimanapun dia berada akan
selalu berusaha menjaga argumentasi ilmiahnya, seorang Sir Isaac Newton akan
selalu kukuh mempertahankan teorisasinya tentang hukum gravitasi di bumi.
Ilmuwan hadir untuk menjelaskan pada manusia mengenai sebuah gejala atau
fenomena baik yang bersifat fisik maupun sosial. Sedangkan cendekiawan menurut
Syariati adalah orang orang yang secara sadar membela kepentingan kaum
tertindas, kaum terpinggirkan, kaum mustadafien dan lahir dari rahim
rakyat jelata. Seorang cendekiawan akan ‘berbicara’ dengan bahasa kaumnya,
menggunakan bahasa yang mudah dimengerti kaumnya sehingga membakar semangat
perjuangan mereka. Cendekiawan tidak berhenti pada menjelaskan sebuah fenomena,
namun lebih jauh berani mengambil ‘sikap’ terhadap sebuah persoalan. Dalam
kaidah keilmuan, seorang ilmuwan akan berhenti pada tahap Judgemeent de Fact
(menilai fakta) sedangkan cendekiawan akan sampai pada tahap Judgemeent de
Vaeluree (menentukan nilai). Dalam
bahasa lain, Antonio Gramsci, seorang Neo Marxist asal Italia mengatakannya
sebagai ‘intelektual organik’, intelektual yang mau menyatu dan membersamai
rakyat, dan tentu saja membela kepentingan kepentingan mereka, bukan
intelektual yang ‘sok universal’ dan bebas nilai (free value). Inilah
perbedaan terbesar yang berakibat pada tugas kesejarahan yang berbeda, seperti
kata Karl Marx kaum ilmuwan hanya akan menafsirkan dunia, sedangkan kaum
cendekiawanlah yang akan mengubah dunia.
Sejarah
kemanusisaan adalah sejarah kaum cendekiawan. Dari zaman nabi Adam hingga zaman
postmodernisme sejarah kemanusiaan selalau diukir oleh pena pena perjuangan
kaum cendekiawan yang tercerahkan (raushan fikr). Para raushan fikr selalu membawa obor obor kemausiaan yang menerangi
kegelapan zamannya,
mendobrak kebusukan stuktur, menentang tiranik penguasa dan memproklamirkan api
api kemanusiaan sepanjang zaman. Sejarah para nabi menjadi role model
terbaik untuk membuktikannya. Nabi Ibrahim telah membunuh ‘Tuhan-Tuhan’ kaum pagan ribuan abad sebelum
Nietzche membunuh ‘Tuhannya” orang eropa,
nabi Musa menantang
hegemoni kerajaan tiranik Firaun, nabi Isa membawa misi pembebasan kemanusiaaan dan cinta kasih kaum nasrani
dan Muhammad SAW memproklamirkan Tauhid sebagai pembebasan terbesar yang pernah
ada dalam kesejarahan umat manusia.
Jika
dalam kebudayaan Jawa kuno resi memainkan peran strategisnya dalam ‘mengawal’
para penguasa, lantas pertanyaannya dimanakah peranan kaum cendekiawan kita
saat ini..?.atau dalam konsepsi Syariati cendikiawan mesti berani ‘mengambil
sikap’ dan keberpihakan, bagaimana dengan kaum intelegensia masa kini,
beranikah mereka secara tegas membelas kepentingan kaum tertindas atau mereka
justru menghamba pada kekuasaan..?, atau jangan jangan sang resi kini telah
kehilangan modal terbesarnya, integritas dan independensi. Sudah seharusnya
kaum intelegensia bangun dari tidur panjangnya dan bersegera mengambil sikap
dan keberpihakannya dalam perjuangan perjuangan kebangsaan.
Kaum
intelegensia indonesia
sudah seharusnya mengambil tugas kesejarahan para nabi, para cendekiawan dan
para raushan fikr di setiap zamannya. Bangsa ini terlalu kecil jika hanya
dihuni para ilmuwan bermental kerdil, ilmuwan yang hampa ideologi, ilmuwan yang
mengagung-agungkan objektivitas dan netralitas semata, ilmuwan yang melihat objek dari menara gading,
bangsa ini membutuhkan pejuang pejuang
intelektual yang mampu membebaskan rakyat dari segala ketertindasan, baik
ketertindasan struktural ekonomi politik maupun ketertindasan sosial budaya.
Sejarah bangsa kita dipenuhi dengan tinta emas idealisme
perjuangan perjuangan kaum intelegensia bangsa, mereka yang selalu selalu
menempatkan kepentingan kaum lemah, kaum tertindas dan kepentingan bangsa di
atas kepentingan pribadi dan golongan, sejarah republik menjadi ensiklopedi
terbaik peranan kaum intelegensia berintegritas tinggi Di masa pra kemerdekaan
para punggawa intelegensia kita telah menunaikan tugas sejarahnya dengan
perjuangan revolusioner ‘mendepak’segala anasir anasir kolonialisme belanda,
baik melalui revolusi fisik maupun diplomasi diplomasi politik yang melelahkan.
Sementara itu kaum cendikiawan generasi 1966 telah melunasi janji mengisi
kemerdekaannya dengan ‘mendobrak’ kemapanan struktur politik Soekarno saat itu
yang gagal dalam memperbaiki perekonomian bangsa dan merebaknya korupsi.
Sedangkan generasi tahun 1990an telah berani mengambil sikap untuk mengatakan
‘tidak’ pada tirani rezim Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Apa
kabar dengan generasi paska reformasi, kemana peranan kaum cendikiawanan. Di
saat gelombang demokratisasi menjalar ke seluruh tubuh bangsa, di saat kran
kebebasan dibuka dimana mana, di saat masyarakat sipil mulai menunjukan
kebangkitannya, sudah seharusnya kaum cendikiawan sekali lagi mengambil ‘sikap’
dan keberpihakannya pada kaum tertindas, tidak hanya untuk melunasi tugas
kesejaharahannya, melainkan juga sebagai pertanggungjawaban mereka sebagai kaum
pelopor yang telah ditakdirkan Tuhan untuk menjadi garda terdepan perubahan
zaman..Billahi Fii Sabilil Haq..Walllahu alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar