Selasa, 25 Desember 2012

“Belajar (Menjadi) Ideologis dari Film Lentera Merah”


“Belajar (Menjadi) Ideologis dari Film Lentera Merah”
Film Lentera Merah  mengambil tema sentral yang sedang digandrungi masyarakat kita, mistik. Namun bukan sembarang cerita mistik murahan seperti yang banyak diumbar oleh para produser pengejar rupiah yang kering pemaknaan dan sama sekali tidak mengedukasi publik. Film Lentera Merah hadir dengan mengais dan mencoba menyegarkan memori kita kembali akan banyak tragedi kemanusiaan di seputar historisme bangsa kita yang kini menginjak usia 67 tahun. Film ini mengisahkan lembaga pers mahasiswa Universitas Nasional Indonesia bernama ‘Lentera Merah’, pers mahasiswa ini dikenal sebagai pers mahasiswa legendaris yang senantiasa kritis dan radikal terhadap kebijakan kebijakan rezim Orde Baru, tak heran pers ini sempat mengalami pembredelan sebelum kemudian era reformasi membuka tabir kebebasan pers dan berpendapat.
Pers Lentera Merah memiliki slogan “Selalu Berpihak pada Kebenaran”, slogan yang teramat keramat dan sakti bagi siapapun yang mendengarnya. Bagi para punggawa Lentera Merah (LM) slogan “Selalu berpihak pada Kebenaran” memberi semacam kebanggaan dan tekad luar biasa untuk senantiasa mendobrak batas batas kemapanan dalam segala bentuk. Film ini diawali dengan romantika perekrutan terbuka LM bagi anggota anggota baru, LM sangat ketat dan kompetitif dalam menjaring calon anggotanya sehingga selain dengan penugasan kelompok LM mengadakan apa yang disebut sebagai “Malam Inisiasi” bagi calon calon anggota baru. Malam Inisiasi adalah tradisi turun temurun dalam soal perkaderan anggota baru di LM. Disinilah kisah itu dimulai, diceritakan Iqbal selaku Pimred LM menaksir seorang calon anggota baru bernama Risa, namun teman teman Iqbal merasa ada sesuatu yang janggal dengan penampilan Risa yang dingin dan kaku. Risa yang berpembawaan tenang dan dingin perlahan juga mulai menyadari keterancaman eksistensi dirinya dari kakak kakak angkatan nya di LM. Secara misterius satu persatu pengurus inti LM meninggal dengan cara yang janggal, dan puncaknya di malam inisiasi seluruh pengurus inti LM telah terbunuh secara misterius. Singkat cerita ternyata Risa adalah arwah penasaran dari masa lalu, Risa adalah pengurus inti LM angkatan 1965 yang dikenal kritis-radikal berhaluan ke kiri kirian. Pada saat Risa aktif di Lentera Merah, dia dituduh oleh Dewan Alumni LM sebagai antek PKI,sehingga dia harus disingkirkan.  Saat itu situasi bangsa tengah gonjang ganjing akibat terkena gempa politik peristiwa malam satu Oktober, seluruh elemen yang tercium berafiliasi dengan PKI menjadi pesakitan sejarah yang diburu untuk dihabisi dengan cara cara yang tak manusiawi. Risa akhirnya tewas secara mengenaskan akibat perlakuan Dewan Alumni, namun yang ironis teman teman sesama pengurus LM justru ketakutan dan menyembunyikan mayat Risa di sekretariat LM, menguburnya tanpa pernah memberi tahu siapapun. Bersama jasad Risa para pengurus Lentera Merah ikut serta mengubur kebenaran yang selama ini mereka perjuangkan.
Saya tidak akan terlalu membahas kronologi alur film di atas karena mungkin sudah banyak diketahui umum. Namun yang ingin saya sampaikan disini adalah betapa tragedi kemanusiaan dengan tajuk kekuasaan membungkam kebenaran telah  menjadi catatan hitam lembar sejarah bangsa kita. Betapa Risa menjadi potret kecil akan limbungnya suara kebenaran jika berhadapan dengan hegemoniknya rezim penguasa. Risa yang dikenal sebagai mahasiswa kritis-radikal yang banyak menyuarakan suara suara pembebasan membela kaum petani dan marginal, Risa dikenal sering menulis artikel artikel yang membongkar kebusukan tentara yang menghabisi petani petani didesanya justru dianggap sebagai parasit berbahaya yang dapat menularkan virus mematikan berlabel ‘komunsime’. Mengapa hanya memiliki pandangan pandangan Marxis Risa kemudian lantas ‘disingkirkan’ dari organisasi yang digelutinya, mengapa hanya karena membela nasib kaumnya (kaum tani) seseorang layak dihabisi nyawanya..? Saya membayangkan jika hidup di zaman itu, ada apa dengan komunisme..? apa salah saya menjadi seorang komunis..?.. Bukankah komunisme adalah fakta sejarah dalam lembar perjuangan bangsa kita, bukankah gerakan komunisme adalah gerakan yang paling progresif dalam perjuangan antikolonialisme dan antifeodalisme, dua paham yang telah mencengkeram bangsa kita selama ratusan tahun. Komunisme sebagai gerakan politik dan ideologi telah hadir sejak zaman pra kemerdekaan, bahkan komunisme lahir dari rahim organisasi Islam terbesar dan pertama di Indonesia, Serikat Islam. Maka menjadi tidak relevan mengasosiasikan komunisme identik dengan ateisme. Dahulu seorang pemuka agama terkemuka bernama Haji Misbach juga seorang komunis, namun dia tetap menjadi seorang theis (muslim) yang taat. Apalagi jika kita menelisik riwayat hidup Tan Malaka, siapa yang tak kenal Tan Malaka, revolusionis sejati dan bapak republik ini adalah mantan ketua Partai Komunis pertama di Hindia Belanda, namun dia berpendidikan agama yang kuat dan tetap menjadi theis, Tan terkenal dengan ucapannya bahwa “dihadapan Tuhan saya seorang Muslim, namun dihadapan manusia saya seorang komunis”. Sangat ironis jika di abad kemanusiaan dengan dengung dengung persamaan, kebebasan dan persaudaraan masih kita dapati kekerasan akibat perbedaan ideologi hidup, yang agamis menghina kubu liberalis, yang liberalis mengolok ngolok kaum konservatif, yang konservatif menghina kubu revolusioner dan seterusnya begitu, Bisakah kita hidup bersama sama dengan tanpa melihat isi kepala dan pikiran orang lain dan hanya menjadikan tindakan dan sikap sebagai tolak ukur kebaikan dan keburukan sesuatu. Biarkan ideologi terus tumbuh, berkembang, meluap luap dan meledak dalam pikiran pikiran manusia manusia merdeka itu, sebab hanya manusia terpenjara sajalah yang tak berani memelihara ideologi dalam kepalanya..
Refleksi setelah menonton film Lentera Merah, 23.03. 1 Februari 2012
Kota Tegal, Jawa Tengah
Pusat Radikalisme Jawa

Quo Vadis Kaum Intelegensia Indonesia..??


Quo Vadis Kaum Intelegensia Indonesia..??
Dalam alam pikiran jawa cendekiawan memiliki posisi tersendiri dalam sebuah relasi kekuasaan Cendekiawan dalam mitologi jawa menurut Arif Budiman dapatlah ditafsirkan dengan seorang resi dalam posisi relaisonalnya dengan penguasa dan rakyat. Resi menurut kosmologi Jawa adalah orang orang yang memiliki pengetahuan lebih dibanding rakyat kebanyakan, hidupnya dipenuhi penyucian diri, tidak memiliki afiliasi politik dan menjaga independensi pemikiran dan perbuatannya. Sang resi dipercaya mampu membaca ‘tanda-tanda’ zaman, sehingga mempunyai posisi istemewa di mata para penguasa. Suara, tindakan maupun wejangan sang resi akan selalu menjadi masukan para penguasa dalam mengurus negeri dan rakyatanya. Uniknya sang resi hanya akan menyampaikan wejangan (kritik) pada penguasa jika kondisi negerinya dianggap dalam keadaan genting dan berbahaya, sang resi hanya akan turun gunung jika situasi negerinya dianggap sudah abnormal sehingga perlu segera diselamatkan.
Sementara itu menurut Ali Syariati, arsitek revolusi Islam Iran, cendekiawan ditandai dengan sikapnya yang selalu menunjukan keberpihakan kepada kaum yang lemah. Ali Syariati dengan sangat baik menjelaskan peranan kaum cendekiawan di abad 21. Cendekiawan menurutnya berbeda dengan ilmuwan. Ilmuwan merujuk pada para ahli ahli ilmu pengetahuan yang senantiasa menjunjung tinggi prinsip prinspip netralitas, objektivitas dan rasionalitasnya. Ilmuwan dimanapun dia berada akan selalu berusaha menjaga argumentasi ilmiahnya, seorang Sir Isaac Newton akan selalu kukuh mempertahankan teorisasinya tentang hukum gravitasi di bumi. Ilmuwan hadir untuk menjelaskan pada manusia mengenai sebuah gejala atau fenomena baik yang bersifat fisik maupun sosial. Sedangkan cendekiawan menurut Syariati adalah orang orang yang secara sadar membela kepentingan kaum tertindas, kaum terpinggirkan, kaum mustadafien dan lahir dari rahim rakyat jelata. Seorang cendekiawan akan ‘berbicara’ dengan bahasa kaumnya, menggunakan bahasa yang mudah dimengerti kaumnya sehingga membakar semangat perjuangan mereka. Cendekiawan tidak berhenti pada menjelaskan sebuah fenomena, namun lebih jauh berani mengambil ‘sikap’ terhadap sebuah persoalan. Dalam kaidah keilmuan, seorang ilmuwan akan berhenti pada tahap Judgemeent de Fact (menilai fakta) sedangkan cendekiawan akan sampai pada tahap Judgemeent de Vaeluree (menentukan nilai). Dalam bahasa lain, Antonio Gramsci, seorang Neo Marxist asal Italia mengatakannya sebagai ‘intelektual organik’, intelektual yang mau menyatu dan membersamai rakyat, dan tentu saja membela kepentingan kepentingan mereka, bukan intelektual yang ‘sok universal’ dan bebas nilai (free value). Inilah perbedaan terbesar yang berakibat pada tugas kesejarahan yang berbeda, seperti kata Karl Marx kaum ilmuwan hanya akan menafsirkan dunia, sedangkan kaum cendekiawanlah yang akan mengubah dunia.
Sejarah kemanusisaan adalah sejarah kaum cendekiawan. Dari zaman nabi Adam hingga zaman postmodernisme sejarah kemanusiaan selalau diukir oleh pena pena perjuangan kaum cendekiawan yang tercerahkan (raushan fikr). Para raushan fikr selalu membawa obor obor kemausiaan yang menerangi kegelapan zamannya, mendobrak kebusukan stuktur, menentang tiranik penguasa dan memproklamirkan api api kemanusiaan sepanjang zaman. Sejarah para nabi menjadi role model terbaik untuk membuktikannya. Nabi Ibrahim telah membunuh ‘Tuhan-Tuhan’ kaum pagan ribuan abad sebelum Nietzche membunuh ‘Tuhannya” orang eropa, nabi Musa menantang hegemoni kerajaan tiranik Firaun, nabi Isa membawa misi pembebasan kemanusiaaan dan cinta kasih kaum nasrani dan Muhammad SAW memproklamirkan Tauhid sebagai pembebasan terbesar yang pernah ada dalam kesejarahan umat manusia.
Jika dalam kebudayaan Jawa kuno resi memainkan peran strategisnya dalam ‘mengawal’ para penguasa, lantas pertanyaannya dimanakah peranan kaum cendekiawan kita saat ini..?.atau dalam konsepsi Syariati cendikiawan mesti berani ‘mengambil sikap’ dan keberpihakan, bagaimana dengan kaum intelegensia masa kini, beranikah mereka secara tegas membelas kepentingan kaum tertindas atau mereka justru menghamba pada kekuasaan..?, atau jangan jangan sang resi kini telah kehilangan modal terbesarnya, integritas dan independensi. Sudah seharusnya kaum intelegensia bangun dari tidur panjangnya dan bersegera mengambil sikap dan keberpihakannya dalam perjuangan perjuangan kebangsaan.
Kaum intelegensia indonesia sudah seharusnya mengambil tugas kesejarahan para nabi, para cendekiawan dan para raushan fikr di setiap zamannya. Bangsa ini terlalu kecil jika hanya dihuni para ilmuwan bermental kerdil, ilmuwan yang hampa ideologi, ilmuwan yang mengagung-agungkan objektivitas dan netralitas semata, ilmuwan yang melihat objek dari menara gading, bangsa ini membutuhkan pejuang pejuang intelektual yang mampu membebaskan rakyat dari segala ketertindasan, baik ketertindasan struktural ekonomi politik maupun ketertindasan sosial budaya. Sejarah bangsa kita dipenuhi dengan tinta emas idealisme perjuangan perjuangan kaum intelegensia bangsa, mereka yang selalu selalu menempatkan kepentingan kaum lemah, kaum tertindas dan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan, sejarah republik menjadi ensiklopedi terbaik peranan kaum intelegensia berintegritas tinggi Di masa pra kemerdekaan para punggawa intelegensia kita telah menunaikan tugas sejarahnya dengan perjuangan revolusioner ‘mendepak’segala anasir anasir kolonialisme belanda, baik melalui revolusi fisik maupun diplomasi diplomasi politik yang melelahkan. Sementara itu kaum cendikiawan generasi 1966 telah melunasi janji mengisi kemerdekaannya dengan ‘mendobrak’ kemapanan struktur politik Soekarno saat itu yang gagal dalam memperbaiki perekonomian bangsa dan merebaknya korupsi. Sedangkan generasi tahun 1990an telah berani mengambil sikap untuk mengatakan ‘tidak’ pada tirani rezim Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Apa kabar dengan generasi paska reformasi, kemana peranan kaum cendikiawanan. Di saat gelombang demokratisasi menjalar ke seluruh tubuh bangsa, di saat kran kebebasan dibuka dimana mana, di saat masyarakat sipil mulai menunjukan kebangkitannya, sudah seharusnya kaum cendikiawan sekali lagi mengambil ‘sikap’ dan keberpihakannya pada kaum tertindas, tidak hanya untuk melunasi tugas kesejaharahannya, melainkan juga sebagai pertanggungjawaban mereka sebagai kaum pelopor yang telah ditakdirkan Tuhan untuk menjadi garda terdepan perubahan zaman..Billahi Fii Sabilil Haq..Walllahu alam.

Persatuan Abadi Umat Islam Indonesia


Persatuan Abadi Ummat Islam Indonesia : Pesan untuk Pemuda Islam
Baru membaca judulnya saja seolah kita akan disuguhi dengan hal hal berat, mengawang dan tempatnya mungkin dilangit sana, sebagian orang menyebutnya sebagai sebuah idealisme, sebagian lain menganggapnya mimpi di siang bolong. Namun saya akan berusaha mendekatkan apa yang mengawang ngawang di langit itu dengan berusaha memberi pijakan yang kuat nan kokoh pada bumi tempat kita tinggal kini, sebut saja dengan realitas. Sekian prolognya terlalu banyak juga akan menjemukan.
Sore itu saya pulang sehabis kuliah dan berkunjung ke perpustakaan kampus, sesampainya di kamar seperti biasa yang pertama kali saya lakukan adalah menyalakna laptop dan menyetel beberapa track musik yang sesuai dengan suasana hati, sambil iseng membuka buka folder yang berisi dokumen yang saya anggap menarik lalu saya baca. Entah kenapa saya tiba tiba menjadi sangat berhasrat membuka dan membaca sebuah dokumen pdf yang baru kemaren saya dapat via email lewat seorang kawan, dokumen itu berjudul “Tafsir Asasi Pelajar Islam Indonesia”. Tangan saya dengan sigap mengeklik dokumen itu dan terbukalah dokumen itu. Sejurus kemudian saya membacanya dengan konstrentasi tinggi dan pemaknaan yang mendalam, saya memperlakukan dokumen atau bacaan itu sebagai sebuah pencapaian komitmen perjuangan pelajar pelajar di tahun 1950an, tepatnya di Kongres PB PII ke 3 di Kediri. Setelah membacanya saya menjadi sangat tercenung, terpekur lebih tepatnya mungkin membayangkan bahwa betapa mendalamnya pemaknaan dan teguhnya komitmen juang yang diretas kemudian didokumentasikan pelajar pelajar Islam kala itu, Tafsir Azasi PII menjelaskan tahap demi tahap pergerakan pelajar Islam terbesar di Indonesia ini, di awali dengan tahap kesadaran, kebangkitan, perluasan, konsolidasi, dan mencipta. Kesadaran menjadi elemen terpenting dalam perjuangan gerakan kepelajaran ini. Di awali dengan kesadaran bahwa pendidikan tafsir kolonialisme telah menelanjangi hakikat pendidikan sesungguhnya yang mengandung nilai nilai moralitas, agama dan pembebasan, pendidikan belanda yang mengusung materialisme dan sekulerisme dalam praktiknya dirasakan umat Islam sangat merugikan dan meniadakan inti ajaran Islam yang syarat dengan kemajuan dan ilmu pengetahuan. Disparitas santri di pesantren dan siswa siswi di pendidikan sekuler kolonial membuat segregasi dan perpecahan di kalangan umat Islam indonesia bahkan di tataran bangsa dan negara, inilah politik devide et impera yang paling keji yang pernah belanda lakukan. Untuk menutup jurang inilah PII hadir ke alam nusantara. Semangat persatuan dan karya bhakti sejak awal telah menjiwai segenap airan darah pergerakan pelajar Islam Indonesia ini. Maka seiring dengnan perjalanan sejarah nanti kedua semangat inilah yang membuat pergerakan pelajar ini tetap mampu hidup dalam setiap rezim kuasa,
Pesan yang saya maksud untuk generasi sekarang adalah sangat sederhana sebenarnya, persatuan dan karya bhakti. Pesan ini sudah sering kita dengar dan sudah seringpula kita abaikan dan lupakan dalam setiap dinamika zaman, dokumen tafsir azasi ini sungguh membuktikan kepada kita bahwa persatuan dan karya bhakti ala generasi 1950an letaknya bukan hanya pada lisan dan retorika melainkan pada tataran praktik dan menjadi sebuah prinsip hidup yang menyala nyala, misalkan diceritakan bahwa ketika Gubernus Aceh berkunjung kepada PB PII yang ada di Yogyakarta beliau berpesan agar pergerakan pelajar Islam bersatu dan bernaung dalam satu organisasi saja agar agenda perjuangan ummat Islam lebih mudah dicapai. Nasihat itu kemudian langsung dibuktikan dengan sikap dan tindakan dengan meleburnya organisasi Pelajar Islam Aceh kedalam PII, lantas kemudian diikuti oleh GPII dan pelajar Islam Makassar. Fenomena ini sungguh sangat amat langka terjadi kini, untuk melebur meniadakan eksistensi dirinya (organisasi) saja  mungkin terlalu mustahil bahkan hanya karena perbedaan yang sepele saja langsung alih alih membuat organisasi tandingan untuk menyangingi organisasi yang telah ada, telah banyak kasus demikian terjadi pada ormas ormas dan parpol parpol, sekalipun berbasis Islam. Tafsir azasi ini mengajari kita kearifan dan kedewasaan perjuangan yang dilakukan oleh para pendahulu kita, mereka mampu mengubur egoisme eksistensi dan kepentingan pribadi lantas membangunkan kepentingan ummat, bangsa dan negara di atasnya. Terakhir ada satu statement cerdas yang dikutip dalam dokumen tafsir Azasi ini “Seorang Islam sudah tentu Nasionalis, namun seorang Nasionalis belum tentu Islam, membela Islam sudah otomatis membela negara namun membela negara belum tentu membela agama, karena itulah satukan perjuangan, ingat musuh akan lebih mudah memecah belah kita jika tidak bersatu”



7 Maret 2012, 19.18
Tempat dulu Pak Natsir Menyemai Kader Ummat
Dalam Tafakkur akan Kejahilan Diri

Minggu Pagi di Victoria Park


Wacana Postkolonial dalam Film Minggu Pagi di Victoria Park
Studi studi postkolonial dalam diskursus akademik internasional sebagai sebuah bangunan pengetahuan (body of knowledge) sesungguhnya relatif belum lama dikembangkan oleh para pemikirnya. Apabila terbitnya karya Edward Said berjudul “Orientalisme” dan munculnya kelompok subaltern studies group di India pada tahun 1980 an dijadika pijakan ‘kelahiran’ studi studi postkolonial, maka usia nya baru sekitar 3 dasawarsa. Dalam usia yang masih sangat muda ini diskursus postkolonial banyak mendapat tentangan dan tantangan dari berbagai pihak. Namun studi postkolonial tetap menjadi kajian yang banyak menarik minat akademisi di negara negara dunia ketiga, terutama digunakan untuk membongkar struktur dan relasi kuasa yang dominatif-opresif selama dan sesudah kolonialisme membelenggu negara negara mereka.
Penggunaan terminologi ‘post’ dibandingkan dengan ‘pasca’ sesungguhnya syarat akan pemaknaan dan interpretasi yang kompleks akan konsekuensi konsekuensi nya, terminologi post mengandung makna melampaui “beyond”, dibandingkan dengan setelah ‘after’, postkolonialisme juga mengandung makna bahwa ada continuing effects yang ditinggalkan selama dan setelah kolonialisme bangsa bangsa barat atas bangsa timur. Postkolonialisme meruju pada kenyataan bahwa penguasaan bangsa bangsa barat atas negeri negeri jajahannya tidak hanya sebatas pada aspek fisik dan militer saja, namun lebih luas lagi dimensi dan spektrum penguasaannya, yakni pada aspek ideologi, politik, budaya, sastra bahkan agama sekalipun. Menurut Gramsci, penguasaan pada aspek fisik dilakukan secara langsung sarana militer disebut dominasi, sedangkan penguasaan secara sukarela yang dilakukan dengan ‘penaklukan’ ideologi, politik, agama dan budaya kelas tertindas disebut ‘hegemonig’. Negara negara kolonialis melakukan dominasi dan hegemoni secara bersamaan pada bangsa bangsa jajahannya, dengan begitu warisan kolonialisme pada tanah tanah jajahannya pun berada pada semua dimensi, termasuk struktur mental, budaya, agama hingga politik.
Studi studi postkolonial menekankan pada continuing effect kolonialisme pada masyarakat bekas jajahan. Sikap dan konstruksi berpikir masyarakat bekas jajahan terhadap barat (kolonial) dan terhadap konstruksi identitas dirinya. Masyarakat bekas jajahan seringkali mengkonstruksi barat sebagai negeri kolonialis, penindas dan simbol kejahatan kemanusiaan dan moralitas, namun disisi lain mereka juga diam diam ‘memuja’ barat sebagai simbol kemajuan, kemodernan, dan sebagai arah pembangunan bangsa mereka. Sedangkan masyarakat negeri kolonialis mengkonstruksikan timur sebagai simbol keterbelakangan, kejumudan, tradisi dan anti rasionalitas, namun di sisi lain mereka juga memandang timur sebagai simbol eksotisme, ‘jauh’ dan unik sehingga harus ditaklukkan. Sikap yang demikian dalam studi postkolonial disebut sebagai sikap “Ambivalen”, di satu sisi mengutuk namun disisi lain ‘memuja’, relasi ini memendam semacam rasa benci tapi rindu.
Penjelasan akan ambivalensi (dengan segala konsep kunci seperti mimikri, hibriditas, representasi dll) dijelaskan oleh para teoritisi postkolonial seperti Hommy Babha, Franz Fannon, Bill Achroft dll. Menurut Babha mimikri adalah praktek dimana orang yang dijajah menulis kembali wacana kolonial yang dipaksakan kepada mereka, sehingga berbaur dengan wacana mereka sendiri. Dari sini sebenarnya identitas warga postkolonial adalah identitas yang hibrid dan pada dasarnya orang yang dikoloni sedang melakukan dekonstruksi terhadap wacana itu. Sedangkan Hibriditas dalam konteks postkolonial mengacu pada proses dimana orang-orang yang dikoloni berusaha menyingkap wacana postkolonial yang beraneka ragam. Selama ini wacana postkolonial selalu menganggap bahwa orang yang dikoloni adalah orang yang selalu meniru (mimikri) padahal sebenarnya mereka sedang mencampurkan wacana kolonial dengan ide mereka (hibrid).
Dalam menganalisis film Minggu Pagi di Victoria Park penulis akan banyak menggunakan konsep konsep kunci di atas. Film yang bernarasikan pergulatan Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Hongkong ini sesungguhnya banyak menyimpan ‘rahasia’ postkolonial yang harus ‘dibongkar’ dengan konsep kunci ambivalensi. Seperti dikisahkan di atas keluarga Mayang dan Sekar sesungguhnya adalah representasi dari masyarakat terjajah (colonized) yang bergulat dengan struktur politik, ekonomi, dan budaya warisan kolonial. Salah satunya bisa kita potret dari sikap ayah Mayang yang memandang ‘luar negeri’ sebagai ‘tanah harapan’ bagi keberlangsungan keluarganya, luar negeri dianggap mampu mengangkat harkat dan martabat keluarga karena sokongan ekonomi nya. Pandangan demikianlah yang ‘memaksa’ Sekar untuk pergi meninggalkan tanah air menuju negeri asing dengan harapan akan kehidupan yang lebih baik. Struktur mental yang demikian sesungguhnya adalah warisan mental inlander masyarakat terjajah yang selalu menganggap pihak lain (barat/eksternal) memiliki superisositas dan menganggap dirinya inferior.
Dalam film ‘Minggu Pagi di Victoria” juga dapat kita temukan kompleksitas persoalan kekerasan yang dihadapi buruh migran kita. Kekerasan yang dialami tidak berhenti pada kekerasan fisik semata, namun juga kekerasan psikologis, simbolik dan budaya. Kekerasan juga tidak hanya dilakukan oleh masyarakat negeri tujuan sebagai kelas penindas (majikan) namun juga dilakukan oleh masyarakat dalam kelas tertindas (keluarga korban). Dalam kajian postkolonial ini disebut ambivalensi, dimana pihak tertindas secara tidak sadar juga melakukan apa yang mereka sendiri kecam, yakni penindasan. Contoh dalam film ini adalah apa yang dialami Mayang dan Sekar dalam sebuah keluarga kecil di pelosok Jawa. Digambarkan bahwa Sekar yang mempunyai kecantikan dan kecerdasan di atas rata rata gadis desa dijadikan ‘alat’ oleh keluarganya untuk memperbaiki kehidupan ekonomi mereka, dengan menjadi TKW di negeri orang keluarga Sekar mendapat perbaikan kehidupan. Sementara kekerasan psikis dialami oleh Mayang, Mayang yang secara secara fisik tidak serupawan adiknya harus menjalani masa masa suram dalam keluarganya, dia diremehkan dan selalu dibanding bandingkan dengan Sekar hanya karena dia tidak bisa pergi ke luar negeri menjadi TKW, sementara pekerjaannya sebagai buruh di pabrik tebu tidak pernah dihargai oleh ayahnya. Akibatnya Mayang tanpa sadar memupuk perasaan dendam dan iri terhadap saudaranya sendiri.
Film ini juga menyajikan potret menarik kehidupan para pahlawan devisa di negeri asing. Lika liku kehidupan keseharian buruh migran di negeri asing ini dapat kita ‘baca’ dengan perspektif poskolonial. Menarik misalnya melihat bagaimana para Tenaga Kerja Wanita di Hongkong dalam film itu digambarkan memiliki komunitas dan tempat nongkrong tersendiri di salah satu pusat kota, mereka biasa saling bertemu dan berbagi keluh kesah tentang pekerjaan, keluaga majikannya, hingga pacar mereka. Salah satu yang menarik adalah perubahan gaya hidup dan selera konsumsi mereka selama di negeri asing.
Dalam film ini digambarkan bagaimana para buruh migran perempuan ini mulai menjadi ‘manusia modern’, minimal dari penampilan fisik mereka. Mereka mengenakan celana jins, tank top dan rompi, sementara sebagian yang lain banyak yang mengecat rambut mereka, memasang anting di mulut dan merokok menjadi kebiasaan. Perilaku mereka dalam meniru gaya hidup, mode pakaian dan selera konsumsi masyarakat negara maju hakikatnya sedang mengidentifikasikan identitas baru mereka sebagai ‘manusia modern’ dan mencoba membunuh identitas lama mereka sebagai ‘warga kelas dua’ di negeri asing. Namun dalam proses meniru ini terdapat sebuah ambivalensi seperti layaknya konsep mimikri nya Hommy Babha, proses meniru menurut Babha tidak hanya bersifat melanggengkan dominasi namun di saat yang bersamaan juga berusaha menegasikan dominasi tersebut. Artinya meniru juga mengandung makna mengejek dan mendifferensiasikan dirinya dengan yang ditiru. Dalam konteks perilaku para buruh migran wanita di film Minggu Pagi di Victoria Park dapat dikategorikan sebagai perilaku mimikri, mereka meniru dan berusaha mengidentifikasikan diri sesuai citra manusia modern dengan mengikuti gaya berpakaian, gaya hidup, dan penampilan fisik yang lain, namun perilaku mereka justru masih mempertahankan karakter karakter tradisional mereka, seperti suka bergosip dan mengobrol sesama migran, dan masih suka menggunakan kata kata kasar dari negara asal, seperti terlihat dari salah satu adegan saat Sekar bertengkar dengan temannya dan diakhir percakapan Sekar mengumpat temannya dengan sebutan “Jancuk”, sebuah umpatan khas Jawa Timuran. Proses proses di atas menunjukan bahwa meski mereka telah merombak total penampilan dan gaya hidup mereka hingga identik dengan apay yang mereka sebut citra manusia modern, namun hakikatnya struktur mental dan kesadaran mereka masih berada dalam bayangan identitas tradisional dan sebagai masyarakat terjajah (colonized) yang mudah mengimitasi apapun dari bangsa penjajah (colonizer). Dalam konteks ini sesungguhnya mereka tidak hanya meniru (imitasi) namun juga ada unsur mengejek (mockey), tidak hanya melanggengkan dominasi budaya namun juga berusaha menegasikan dominasi kultural itu. Akibatnya konstruksi identitas buruh migran pada film ini adalah perpaduan antara citra modernitas penampilan dan tradisionalitas sikap, sebuah identitas hibrid. 

Kuasa Pengetahuan


“Kuasa Pengetahuan”
Perkembangan ilmu ilmu sosial dewasa ini berkembang sangat pesat. Arus dan mainstream dalam tradisi ilmu ilmu sosial berubah secara radikal dalam kurun waktu yang sangat cepat, misalnya teori teori Marxis yang di awal abad 20 hingga tahun 60 an masih hegemonik di negara negara dunia ketiga dengan sangat cepat dan tak terduga telah tumbang ditangan tradisi kapitalis dengan jugadornya Amerika dan negara negara eropa barat. Tesis Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution ada benarnya mengatakan perubahan paradigma dan teori dalam ilmu ilmu sosial berubah secara revolusioner dan saling meniadakan. Meskipun sebuah teori dibangun, dikembangkan dan dikritik melalui dialog antar-meta teori namun tidak dapat disangkal akan terjadi ‘pertempuran’ pemikiran yang menghasilkan paradigma dan teori sosial yang mendominasi dan didominasi, antara dominatif versus emansipatoris.
Perubahan mainstream ilmu ilmu sosial tidak berada dalam ruang yang hampa dan steril, namun ia berada dalam setting dan konteks ekonomi, sosial dan politik tertentu. Perubahan ini juga ‘bertanggung jawab’ terhadap suatu sistem sosial-politik ekonomi sebuah bangsa. Dalam konteks Indonesia misalnya, pada zaman Orde Lama Bung Karno menjadikan pendulum Indonesia lebih bergerak ke ‘kiri’, hal ini secara tidak langsung karena perkembangan dan kemajuan teori teori Marxist yang waktu itu masih banyak dipraktikkan di negara negara di dunia ketiga. Namun setelah ‘gempa politik’ tahun 1966 pendulum Indonesia berubah 180 menjadi haluan kanan, ini juga tentu tidak terlepas berkat pengaruh jaringan intelektual chicago dan berkeley yang baru pulang dari Amerika Serikat. Dengan membawa bekal amunisi teori teori mazhab Chicago yang didominasi aliran struktural-fungsionalis para ilmuan ini masuk ke jaringan birokrasi dan decision maker di seluruh negeri dan membuat kebijakan kebijakan publik menurut persperktif ilmu yang mereka dapat. Rekam jejak para ilmuan sosial Chicago ini dapat kita telusuri pada sosok Selo  Soemardjan, seorang yang oleh banyak pihak disebut sebagai sosiolog pertama di Indonesia. Selo Soemardjan adalah alumni universitas Columbia yang sangat didominasu pemikiran Talcott Parson, seorang tokoh besar aliran fungsionalis. Jejak pemikiran Selo terutama sangat kentara pada teori teori sistem sosial yang dikembangkannya, dimana menurutnya pembangunan dapat berjalan dengan baik apabila ditopang dengan sistem sosial, sistem politik, sistem ekonomi dan sistem budaya yang menjamin stabilitas, ekulibrium dan integrasi sosial. Pemikiran pemikiran ini menjadi arus dominan dalam teori teori pembangunan saat itu, tak kurang Orde Baru di bawah Janderal Soeharto dengan sangat  baik menterjemahkan paradigma fungsionalnya Parsonian lewat doktrin pentingnya menggalang kesatuan nasional, stabilitas politik dan seragamnya sistem sosial budaya masyrakat yang dikembangakan.
Jika Orde Lama terpengaruh mazhab sosial Marxist dan Orde Baru dengan Fungsionalisnya, lantas bagaimana dengan era pasca reformasi 1998 ini,,? Perlu studi lanjut yang komprehensif dan mendalam untuk menjawab pertanyaan di atas, namun banyak pihak meyakini Indonesia telah keluar dari lubang buaya menuju mulut singa, keluar dari jebakan developmentalisme namun bergerak perlahan ke arah neoliberalisme, tak kurang Dr. Mansour Fakih menyatakan demikian, tetapi pada akhirnya kita harus dengan jujur mengakui kebenaran tesis Michael Foucault, bahwa pengetahuan bukanlah persoalan benar dan salah semata mata namun juga terikat relasi kuasa yang ada.


6.24 Rabu 21 September 2011
Tadarrus Pemikiran Sosial, Pesantren Kemerdekaan Budi Mulia Yogyakarta

Jika Cinta


Jika Cinta
Jika Kata tak mampu mengungkap makna
Maka biarkan bahasa hati yang bicara
Jika mulut kelu untuk berucap
Maka biarkah hati yang merasa

Jika jarak tak bisa diatasi
Maka biarkan jiwa yang mendekat
Jika ruang dan waktu tak bisa dilawan
Maka biarkan Cinta kita bertemu di relung jiwa

Jika bumi dan langit terlampau jauh
Maka biarkan bulan yang mendekatkan
Jika Cinta kita terlampau mustahil
Biarkan takdir yang mendekatkan nya

Jika Pagi dan Malam tak bisa disatukan
Biarkan fajar yang menjadi simfoninya
Jika di dunia kita tak bisa bersatu
Biarkan negeri akhirat yang menyatukan kita

Jika Angin dan Air saling meniadakan
Maka biarkan tanah yang mendamaikan
Jika  aku dan kau saling menegasikan
Biarkan cinta yang mengharmonikannya

Jika matahari dan bulan tak mungkin bersama
Maka biarkan bintang gemintang yang menjadi kisahnya
Jika aku dan kau tak mungkin bersama
Biar kisah Cinta kita yang mengabadi di semesta kelak

Kota penuh Cinta
13-02-2012
14.10 Waktu Indonesia 

Lentera Merah


Lentera Merah
Lentera Merah
Kau saksi pergulatan sejarah
Lentera Merah
Kau bukti perselingkuhan kuasa

Lentera Merah,
Selalu berpihak pada kebenaran
Lentera Merah
Selalu dikhianati kebenaran

Lentera Merah
Kisahmu mengabadi dalam sejarah
Lentera Merah
Namamu penuh pertumpahan darah

Lentera Merah
Kau hidup dalam jiwa jiwa kami
Jiwa jiwa kaum tertindas, kaum papa dan kaum proletariat
Jiwa Manusia Manusia Merdeka


Satu Hati



JIka ada Satu Bunga pastilah ada banyak kumbang disana
Jika ada Satu Pohon pastilah ada banyak rantingnya disana
Jika ada satu Langit maka pasti ada banyak bintang disana
Namun
Hatiku sungguh berbeda dengan nya
Dengan Bunga itu dengan Pohon itu
Bahkan dengan Langit itu
Sebab…
Jika Ada Satu Hatiku
Maka Hanya Akan Ada Dirimu disana
Jika Ada Satu Hatiku
Hanya kan kau temui Ketulusan Cintaku
Jika Ada Satu Hatiku
Hanya kan kau rasakan Kemurnian Rasa ku
Jika Ada Satu Hatiku
Hanya kan kau dengar lirihan panggilan namamu
Jika Ada Satu Hatiku
Hanya kan kau yang Ku Harap Selalu Mengisinya
Aku INgin Hati Ini Milikmu , Selalu dan Selamanya
Hingga Saat Langit Runtuh dan Bumi Terbelah…..
 Tegal. 23 November 2010

Terimakasih Tuhan


Terimakasih Tuhan
Terimakasih Tuhan
Atas semua nikmat yang tak pernah kusyukuri
Terimakasih Tuhan
Atas semua ampunan yang tak pernah kusadari

Terimakasih Tuhan
Atas semua limpahan rahmatmu yang sering kuabaikan
Terimakasih Tuhan
Atas semua takdir takdir Mu yang seringkali kusesali

Terimakasih Tuhan
Atas semua jawaban jawaban Mu yang tak pernah kuminta
Terimakasih Tuhan
Atas semua Tanda Tanda Mu yang kadang tak bisa kupahami

Terimakasih Tuhan
Atas semua Kasih dan Sayang Mu
Terimakasih Tuhan
Atas semua segala Katas Syukur yang tak sempat terucap..

Dalam Sayup Suara Hati
Saat Tuhan Mengganti Keraguan dengan Keyakinan..
PP Budi Mulia
23.55 WIB, 21-01-2012

Hanya Cinta yang Kucari


Hanya Cinta yang kucari
Hanya Cinta yang kunanti....( Anggun C Sasmi)

Inspirasi itu dapat datang darimana saja dan kapan saja, alias tidak mengenal spesifikasi tempat dan waktu. Begitupun insiprasi menulis, tulisan ini terus terang terinspirasi dari balutan nada nada mp3 dipagi hari yang kebetulan mengeplay lagu milik Anggun C Sasmi, judulnya “Hanya Cinta yang Aku Cari”. Seutas bait lagu tersebut sudah penulis sebutkan diatas, namun mungkin kita semua apalagi yang selalu update lagu lagu pop indonesia sudah tak asing lagi dengan bait bait lagu itu.
Lagu itu menghenyak keheningan pagiku, di saat aktivitas kehidupan baru mulai alunan lagu itu yang bertempo cepat merangsang kita untuk bangkit dan ‘memaksa’ kita untuk mendengarnya. Satu bait yang saya pikir cukup klise kedengarannya : Hanya cinta yang aku cari, Hanya Cinta yang aku nanti”, kalimat indah bercorak puitis-reflektif dalam lagu tersebut menurut saya benar benar meaningfull. Mengapa dapat disebut meaningfull..? karena menurut saya kalimat itu bagaikan turun dari langit ketujuh sekonyong konyong ke bumi, dari langit ketujuh pengalaman pahit getir nya kehidupan menuju bumi realitas kehidupan keseharian kita. Kata kata Hanya Cinta yang Aku cari adalah pemaknaan atas realitas kehidupan yang telah dijalani oleh seseorang secara menyeluruh, dan mengambil sebuah konklusi bahwa kehidupannya nyatanya hanya mengharapkan Cinta saja, tanpa apapun. Pernyataan ini juga sekaligus menegasikan kehidupan modern dengan watak materialis, hedonis dan pragmatis, bagaimana mungkin Cinta sesuatu yang non materrial, abstrak dan sungguh sungguh bercita rasa spiritual dapat bersanding dengan kehidupan yang hanya memuja materi, kesenangan tanpa batas dan berorientasi praktis seperti itu. Jikalau kita memaknai cinta secara sederhana saja sebagai sesuatu fitrah yang ada pada setiap manusia, maka kita dengan mudah akan mengatakan bahwa cinta tidak dapat dimonopoli oleh orang yang sedang kasmaran saja misalnya, atau antara orang tua dengan anaknya saja. Namun jauh daripada itu juga cinta kepada sesama hidup, cinta kepada sesama takhidup dan cinta kepada Yang Maha Hidup, dan itulah cinta yang sesungguhnya dengan balutan ketaatan dan ketwaduhan dihadapannay.

Catatan tak jelas di pagi hari
17-11-2011

Merayakan Kemenangan Kelas Menengah Jakarta


Merayakan Kemenangan Kelas Menengah Jakarta
Usai sudah gelaran pesta demokrasi lima tahunan bertajuk pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta. Beragam lembaga survei telah merillis hasil hitung cepatnya, pasangan Joko Widodo dan Basuki Cahya (Ahok) unggul atas Foke-Nachwrowi Ramli di semua hasil Quick Count. Keunggulan Jokowi-Ahok misalnya terlihat dalam hasil Quick Count Lingkaran Survei Indonesia dan Indo Barometer, keunggulan paslon Jokowi Ahok berkisar antara 5-7% atas pasangan Foke-Nara. Tanpa berpretensi mendahului pengumuman hasil resmi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jakarta yang akan disampaikan tanggal 29 September nanti, kita nampaknya bisa menyepakati bahwa pasangan Cagub-Cawagub Jokowi-Ahok dapat dinobatkan sebagai pemenang kontestasi politik lima tahunan DKI Jakarta.
Kemenangan pasangan Jokowi-Ahok menarik jika ditelisik dari sudut pandang demografi sosial masyarakat Jakarta. Seperti kita ketahui Jakarta adalah salah satu kota terpadat di dunia, dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari sembilan juta jiwa Jakarta menjadi salah satu kota terpadat didunia. Hal ini menimbulkan implikasi sosial yang  beragam, antara lain persoalan tata kota, transportasi, ketersediaan lahan dan meluasnya daerah daerah pinggiran (slump). Fakta unik selanjutnya adalah tingginya prosentase kelas menengah yang ada di ibu kota. Suvei yang dirillis Lembaga Survei Indonesia menunjukan bahwa pemilih DKI Jakarta memiliki proporsi kelas menengah yang paling tinggi dibanding dengan daerah daerah lain di Indonesia. Kelas menengah ibu kota memiliki karakteristik berpendidikan tinggi (well educated), pendapatan per kapita sampai sepuluh ribu dollar, rasional, non ideologis, kritis dan akses ke sosial media yang sangat tinggi. Oleh karenanya dapat dipahami jika pemilih kelas menengah memainkan posisi yang begitu sentral dalam pemilukada kali ini, pemilih kelas menengah adalah kunci memenangi kontestasi politik DKI 1.
Dengan menggunakan frame ini, kita dapat ‘membaca’ bahwa kemenangan Jokowi-Ahok dalam pemilu kada DKI Jakarta kali ini sesungguhnya juga merupakan kemenangan kelas menengah ibu kota. Ada banyak argumen untuk mendukung tesis ini. Pertama, pasangan Jokowi-Ahok adalah pasangan Cagub dengan rate tertinggi di media sosial. Nama Jokowi terbukti lebih sering menghiasi pemberitaan di sosial media dibanding Cagub manapun, termasuk sang petahana Foke. Dan siapa pengguna terbesar media sosial.? mereka adalah kelas menengah ibu kota, mereka menggunakan sosial meida sebagai sumber informasi terpenting mereka. Apalagi mayoritas pemberitaan tentang Jokowi di sosial media bernada simpatik dan positif, tentu saja hal ini memberikanS keuntungan yang luar biasa besar bagi Jokowi dalam merebut suara pemilih kelas menengah. Kedua, Pasangan Jokowi-Ahok memenuhi aspirasi pemilih kelas menengah Jakarta tentang mimpi mimpi perubahan dan perbaikan Jakarta. Kelas menengah Jakarta sedang membangun imaji perubahan sekaligus ingin menunjukan protes terhadap kepemimpinan lama yang dianggap tidak bisa memenuhi harapan mereka. Mereka jenuh dengan macet harian dan banjir tahunan yang menghiasi ibu kota, alhasil mimpi mimpi perubahan begitu cepat menjalar ke penjuru masyarakat. Di saat demikian Jokowi hadir sebagai figur perubahan yang Par Exelence, dengan tag line kampanye “Jakarta Baru” sosok Jokowi begitu aspiratif di mata pemilih kelas menengah. Figur Jokowi lebih aspiratif di mata pemilih kelas menengah dibanding figur incumbent misalnya yang dianggap gagal memenuhi harapan harapan mereka. Arena pemilukada digunakan oleh mereka untuk mengaspirasikan harapan harapan mereka tentang perubahan sekaligus mengubur kepemimpinan status quo yang dianggap gagal mengelola ibu kota.
Ketiga, pasangan Jokowi-Ahok dipandang lebih rasional dibanding dengan pasangan pasangan lainnya. Sepeti disebut diatas bahwa salah satu karakteristik pemilih kelas menengah Jakarta adalah sikap nya yang rasional (rational voter). Program program kesehatan, pendidikan dan tata ulang kota yang dijanjikan Jokowi lebih menarik di mata pemilih kelas menengah dibanding dengan isu SARA yang dihembuskan oleh kubu salah satu Calon. Isu SARA bagi pemilih kelas menengah dipandang sudah usang dan kuno, sehingga tidak layak lagi digunakan dalam kehidupan berdemokrasi, alih alih menurunkan suara isu ini justru membuat pasangan Jokowi makin dikagumi oleh warga karena respon tenang dan rendah hatinya dalam menghadapi serangan ini.
Argumen argumen di atas menggambarkan sesungguhnya kelas menengah ibu kota berada dibelakang kemenangan pasangan Jokowi-Ahok. Strategi dan pendekatan kampanye yang tepat dalam mempersuasi pemilih kelas menengah membuat pasangan ini berhasil unggul hampir di semua daerah. Imaji akan perubahan dan ‘protes’ terhadap status quo kelas menengah Jakarta pada akhirnya membawa nama Jokowi-Ahok sebagai pemenang kontestasi politik paling keras tahun ini. 

Senin, 24 Desember 2012

Manusia dan Modernitas


Kebahagiaan tidak diukur dari seberapa banyak harta yang kita miliki, namun seberapa banyak kita berbagi bersama orang lain..
Pagi ini nampak sederhana, sesederhana driku yang selalu gagap menyambut realitas. Zaman memang tak bisa dilawan namun keyakinan harus tetap diperjuangkan, begitu kata kata magis Rendra selalu terngingang dibenaku, benarkan kita masih punya keyakinan..? benarkan kita yakin akan keyakinan kita sendiri..? kalo memang iya, benarkah kita masih memperjuangkan keyakinan kita..? entahlah.Yang jelas pagi ini aku ingin merajut kembali tenun tenun kehidupan yang  beberapa hari ini terkoyak koyak oleh ruitinitas keseharian yang menjengkelkan, menjemukan dan kadang menggerogoti kemanusiaan kita. Sudahlah, kali ini aku tak ingin terlalu banyak berteriak ataupun menghantam kanan kiri. Namun aku ingin menghantam diriku sendiri.
Pagi nampak sederhana. Sesederhana hidup ini, kata orang bijak hidup hanya numpang lewat, mampir ngombe bahasanya Cak Nun, Maka jangan pernah menjadikan dunia sebagai tujuan, jadikanlah dunia di genggamanku dna akhirat di hatiku, begitu sabda Imam Ali RA, sayangnya masyarakat kita selalu memahami nya dengan terbolak balik, dunia sekarang merasuk d hati manusia manusia modern, sementara akhirat pun tidak ada di genggamannya. Manusia modern terjebak pada jebakan dehumanisasi, manusia satu dimensi (one dimentional mans) kata Herbert Marcuse, manusia terpecah (split) atau apapunlah namanya. Yang jelas modernitas yang membawa kemajuan luar biasa di bidang teknologi informasi, ekonomi dan pembangunan telah menimbulkan persoalan sosial yang maha serius. Alienasi, anomie dan anarki dalam bentuk diam diam sedang melanda masyarakat kita, masyarakat yang sakit.
Aku ingin menghindari jebakan modernitas dengan caraku sendiri, dengan usahaku sendiri, dengan jalanku sendiri dari hasil pemikiranku. Itu satu prinsip dalam hidupku. Sekarang aku kembali menatap hidup yang lebih cerah ke depan, hari ini hari jumat, hari paling baik bagi ummat Islam. Aku berharap dan berdoa Tuhan senantiasa membersamai kami, bukan hanya di masjid masjid kami, bukan hanya di gereja gereja kami, bukan hanya di kelenteng kelenteng kami, bukan hanya di sinagog sinagog kami, melainkan membersamai dan hadir dalam pasar pasar kami, dalam gedung gedung korporasi kami, dalam gedung gedung parlemen kami, dalam istana istana kekuasaan kami, dalam sekolah sekolah kami dan lebih penting dari segalanya hadir dalam hati hati kami, untuk senantiasa menuntun kepada jalan kasih sayang kepada sesama, barangsiapa mencintai makhluk di bumi niscaya dia akan dicintai makhluk langit..
Sekian ,,,dalam cerahnya harapan
28 September 2012.
06.38 WIB

Muslim Tanpa Masjid


Judul               : Muslim Tanpa Masjid : Esai Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam bingkai
                          Struktural Transedental
Penulis             : Kuntowijoyo
Penerbit           : Mizan
Tahun Terbit    : 2001
Tebal               : 404 Halaman
Buku ini merupakan kumpulan esai esai Kuntowijoyo yang tersebar dalam berbagai makalah ilmiahnya selama periode 1990 hingga awal 2000an. Bunga rampai ini merangkum pemikiran pemikiran Guru Besar Sejarah UGM ini tentang agama khususnya umat Islam, kebudayaan, hingga persoalan politik. Esai esai dalam buku ini juga menjadi semacam jawaban ilmiah sekaligus sikap begawan ilmu sosial profetik ini dalam merespon sejumlah fenomena sosial, politik hingga budaya yang dialami bangsa ini. Esai esai ini merupakan bentuk pertanggungjawaban Kunto terhadap mahkamah sejarah atas ilmu dan kebijaksanaan yang dia miliki.
Judul buku ini sendiri diambil dari salah satu esai dalam buku ini berjudul “Muslim Tanpa Masjid”. Judul ini menggambarkan terjadinya fenomena sosial, budaya bahkan politik yang dialami oleh umat Islam Indonesia. Fenomena ini adalah kelahiran generasi muslim baru di penghujung tahun 1990an, Kunto menggambarkan generasi muslim baru ini dengan menulis “Generasi muslim baru telah lahir dari rahim sejarah, tanpa kehadiran sang ayah, tidak ditunggui oleh saudara saudaranya. Kelahirannya bahkan tidak terdengar oleh muslim yang lain. Tangisnya kalah oleh teriakan teriakan reformasi”. Begitulah Kunto membuat metafora tentang kelahiran sebuah generasi muslim baru di kala reformasi pecah di tahun 1998. Apa yang dimaksud Kunto sebagai “generasi muslim baru” adalah mereka para mahasiswa yang pada tanggal 21 Mei 1998 berhasil menduduki gedung MPR-DPR. Mereka adalah sekelompok mahasiswa yang berdemo melawan digelarnya Sidang Istimewa untuk mengevaluasi Habibie, mereka jualah yang dengan demonstrasi demonstrasi besarnya menentang kepemimpinan Habibie. Mereka ternyata ‘muslim’ juga, namun mereka menentang Habibie yang notabene tokoh Islam paling bersinar, mereka menentang keputusan Kongres Umat Islam (KUI) yang mendukung SI, mereka telah ‘melanggar’ berbagai konsensus umat dan ‘melawan’ tokoh tokoh Islam. Siapakah sebenarnya mereka..? dari konteks sosial budaya seperti apa mereka dibesarkan..? dan mengapa mereka bisa menjadi generasi baru yang tidak memiliki afiliasi lagi dengan umat..? Pertanyaan pertanyaan inilah yang dijawab Kunto secara komprehensif.
Kuntowijoyo menjelaskan bahwa kelahiran generasi baru muslim ini adalah sebuah gejala perkotaan. Tumbuh suburnya kelas menengah (middle class) di Indonesia semenjak tahun 70-80an mengakibatkan sejumlah implikasi sosial, generasi yang lahir pada periode ini adalah mereka anak anak umat yang tidak at home lagi di tenda tenda besar umat Islam macam Organisasi Kemasyarakatan (Muhammadiyah dan NU), dan lembaga agama tradisional lain. Tempat lahir mereka adalah di kota kota besar dan menengah, macam Jakarta, Bandung, Medan, Yogyakarta, Semarang dan Surabaya. Akibat industrialiasasi dan urbanisasi mereka tercerabut dari akar sosial budayanya, mereka tidak pernah mengalami sosialisasi keagamaan melalui institusi Islam tradisional macam madrasah, pesantren maupun ulama ulama, sebaliknya mereka justru lebih banyak mendapat sosialisasi agama melalui sekolah lewat Rohani Islamnya, melalui peer groupnya hingga sumber sumber anonim lainnya seperti buku, internet, kaset, video dan lain lain.
Singkatnya, generasi yang ‘hilang’ dari binaan umat inilah yang akhirnya tampil menjadi gerakan gerakan mahasiswa yang independen dari pengaruh ummat Islam, mereka tersebar di berbagai gerakan kiri radikal semacam Forkot, SMID, LMND hingga membentuk NGO NGO yang concern terhadap perjuangan kaum lemah dan tertindas. Mereka Meninggalkan lembaga lembaga sosial umat, bagi mereka ormas maupun orpol Islam tidaklah menarik lagi. Mereka adalah muslim tanpa masjid.
Selain ‘esai utama’ Muslim Tanpa Masjid dalam buku ini masih ada juga sekitar 35 esai percikan pemikiran Kunto. Tiga puluh lima esai Kunto ini terbagi menjadi tiga kluster, yakni esai agama, esai budaya dan terakhir esai politik. Pada kluster esai agama Kunto banyak menjelaskan tentang problematika yang sedang dan akan dihadapi umat Islam Indonesia. Kunto merefleksikan sekaligus membuat proyeksi akan masa depan umat Islam berdasarkan pengalaman pengalaman sejarah, misalnya esai berjudul “SI Putih, SI Merah dan Pembaruan Pemikiran Islam” Kunto menjelaskan bahwa berkaca dari ‘kegagalan’ SI membaca semangat zaman di tahun 1920an dan akhirnya ‘dikalahkan’ oleh PKI, umat Islam di abad 21 akan menghadapi tantangan pemikiran yang serupa dan harus dijawab dengan rumusan pergerakan yang inklusif, Kunto mencontohkan bahwa SI gagal mendekati kaum buruh dan tani disebabkan kegagalan rumusan “Sosialisme Islam” versi Cokroaminoto, rumusan Marxisme nampak lebih meyakinkan dan memikat bagi kalangan buruh tani. Nah, di abad 21 kegagalan SI jangan sampai terulang kembali. Gerakan Islam harus mampu mendekat ke kelompok kelompok sosial yang termarginalkan oleh pembangunan.
Sedangkan dalam kluster esai politik Kunto menyoroti kekalahan demi kekalahan politik umat Islam. Kunto menyebutkan bahwa umat terlalu terperdaya oleh perjuangan perjuangan politik yang melelahkan namun tanpa hasil yang signifikan. Sebagai contoh untuk menyebut kegagalan perjuangan politik umat seperti peristiwa DI/TII, kegagalan perjuangan parlementer Masyumi, kegagalan 1998 dan masih banyak lagi. Kunto mengajukan rumus untuk ‘meninggalkan’ gelanggang politik praktis yang serba berorientasi pendek dan pragmatis, Kunto mewanti wanti agar putera puteri terbaik umat tidak diarahkan ke politik semua. Kunto menganjurkan agar putera terbaik umat mengisi ruang ruang pembangunan seperti teknologi, riset, profesional hingga ranah kebudayaan. Menurut Kunto hal inilah yang akan memajukan umat. Di akhir bagian Kunto membangun paradigma ilmu ilmu sosial yang berwatak kenabian (profetik). Meski singkat, uraian Kunto tentang gagasan ilmu sosial profetik cukup memberikan basis epistemologis bagi bangunan paradigma yang terbilang baru dalam dunia akademis ini. Dengan pendekatan sosiologi sejarah, dipandu cita transedental analisa Kunto sangat jernih dan tajam, buku ini menjadi referensi wajib bagi mereka yang ingin memajukan umat Islam Indonesia.

Dari Pojok Sejarah


Judul               : Dari Pojok Sejarah : Renungan
                          Perjalanan Emha Ainun Najib
Penulis             : Emha Ainun Najib
Tahun Terbit    : 1991
Halaman          : 281 Halaman
Penerbit           : Penerbit Mizan
Tuhan yang mripat Mu tajam tak terkira
Antarkan kami berangkat menjadi manusia
Bukan seniman, politisi, hakim atau pengusaha
(Emha Ainun Najib, 10 Maret 1985)
Sekilas Emha Ainun Najib dan Karyanya
Emha Ainun Najib adalah makhluk langka di Indonesia. Salah satu cendekiawan yang dari awal karirnya hingga kini terus menunjukan salah satu yang langka di negeri ini, konsistensi. Konsistensi adalah mutiara di negeri ini, dan Emha adalah pemilik mutiara itu. Emha mampu menyatukan kata dan laku, ucapan dan perbuatannya tidak pecah kongsi. Emha senantiasa konsisten memilih berjuang dari ‘pojok sejarah’, dia memilih untuk menjauh dari segala pusat kekuasaan, pusat perhatian, magnet popularitas dan teguh membersamai rakyat yang dia perjuangkan. Prinsip hidup ini begitu terlihat ketika Emha memilih untuk berjuang dari arus bawah dan meninggalkan glamornya panggung nasional saat Orde Baru runtuh, padahal di zaman Orde Baru, Emha adalah sedikit dari cendekiawan yang sangat vokal dalam melakukan perlawanan terhadap rezim kala itu. Perjuangan advokasi nya untuk masyarakat Kedung Ombo kala itu misalkan, dianggap begitu berani karena tak ada satupun tokoh nasional yang berani membuka pelanggaran HAM berat yang dilakukan rezim saat itu. Bagi Emha pilihan untuk terus berjuang membersamai rakyat adalah pekerjaan yang berat dan tidak banyak dilakukan oleh para pemimpin negeri ini, untuk itulah dia memilih untuk mengisi ruang kosong itu agar rakyat tidak kesepian.
Lahir dan dibesarkan di kota santri Jombang Emha telah akrab dengan tradisi dan kebudayaan Islam di pesantren. Meski banyak disebut sebagai cendekiawan Islam, Emha tak segan memberontak kepada siapa saja yang ia anggap menindas. Sejak masa remaja Emha telah menunjukan watak ‘pemberontak’ nya, saat masih nyantri di Pondok Pesantren Modern Gontor, Emha memimpin aksi demonstrasi memprotes sistem pendidikan yang diterapkan yayasan, atas aksi ini Emha dipaksa angkat koper lebih dahulu dari masa studinya. Tak sampai disitu, ketika menempuh studi di SMA Muhammadiyah 1 di Yogyakarta Emha kembali ‘dipercepat’ paksa masa studinya oleh gurunya. Namun meski begitu, otak cemerlang Emha nyatanya berhasil membawanya diterima di Fakultas Ekonomi UGM, sekali lagi Tuhan seolah menakdirkan Emha untuk belajar langsung dari kehidupan, ayahnya meninggal dan keluarganya tak cukup uang untuk membiayai pendidikannya. Emha memutuskan keluar dari UGM dan belajar sastra kepada beberapa seniman di Yogyakarta, sambil belajar sastra Emha rajin menulis di media massa untuk sekedar menyambung hidup dan sesekali dikirimkan ke keluarganya.
Setelah keluar dari UGM Emha hidup menggelandang di Jalan Malioboro Yogyakarta, lima tahun Emha hidup di jalanan Malioboro, Yogyakarta antara 1970-1975 Emha belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha. Setelah itu bakat kesusastraan Emha mencuat, dia beberapa kali mengikuti forum forum kesenian internasional, seperti  lokakarya teater di Filipina (1980),International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Emha tercatat sebagai salah satu seniman-cendekiawan muslim paling produktif, lebih dari 30 buku dia hasilkan, diantara karya yang fenomenal adalah  Dari Pojok Sejarah (1985), Markesot Bertutur (1993), Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994), Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996), Demokrasi La Raiba Fiih (2010).  Selain buku, Emha juga berkecimpung di dunia teater, karya teater nya yang amat legendaris berjudul “Lautan Jilbab” ditulis dari puisi puisinya. Kini Emha aktif membersamai rakyat dengan jamaah Padang Bulan dan Maiyahnya yang digelar setiap bulan di beberapa kota.
Dari Pojok Sejarah : Suara Terpinggirkan untuk Negeri
Buku “Dari Pojok Sejarah” adalah kumpulan catatan catatan refleksi Emha mengenai kondisi kebangsaan kontemporer kala itu, catatan ini lebih mirip surat surat terbuka Emha untuk seorang sahabat imajinernya, yang dari awal ia sebut dengan sapaan “dil”. Meski lebih mirip sebuah surat yang ditulis untuk sahabatnya, catatan Emha ini tetap tidak kehilangan karakternya, bahasanya yang lugas, apa adanya, blak blakan, refleksif, kritis dan agak ‘nakal’ serta kental dengan tradisi kepesantrenannya mewarnai kata demi kata yang dirangkai.
Buku ini terdiri atas dua belas bagian, masing masing bagian terdiri atas kurang lebih sepuluh artikel. Catatan catatan Emha ini membahas mulai dari persoalan politik, kebudayaan, ekonomi, sosial, pesantren, agama, hingga sepak bola. Kebanyakan catatan ini adalah semacam kegalauan Emha terhadap kondisi bangsanya yang kian jauh dari cita cita bersama, entah itu cita cita republik apalagi cita cita kemanusiaan. Saat itu rezim Orde Baru sedang mengalami ‘top perform’ dalam merepresi segala infrastruktur kehidupan masyarakat, penindasan demi penindasan dilakukan rezim atas nama pembangunan, Pancasila dimitoskan dan dijadikan legitimasi politik semata, sementara rakyat kecil justru semakin menderita akibat hak hak nya dirampok negara. Apalagi Emha saat itu sedang berada di Eropa untuk mengikuti sejumlah forum forum kebudayaan internasional, kondisi bangsa bangsa Eropa yang menjamin HAM, melindungi rakyatnya, sejahtera dan menjamin kebebasan membuat Emha berpikir ulang tentang kondisi negaranya nun jauh disana yang masih di cengkeram hegemoni penguasa tiran. Catatan catatan reflektif Emha ini boleh jadi merupakan salah satu kritik paling tajam yang dilontarkan kaum cendekiawan saat itu, namun berkat kecerdikan gaya bahasa Emha yang penuh metafor tulisan ini berhasil lulus sensor pemerintah.
Dalam salah satu catatannya yang berjudul “Modernisasi Karbitan” misalnya, Emha dengan sangat baik melakukan kritik sosial yang tajam mengenai proses proses modernisasi yang dijalankan pemerintah, terutama yang disokong oleh institusi institusi pendidikan. Menurut Emha bangsa kita telah melakukan ‘lompatan sejarah’ yang sangat jauh untuk memenuhi tuntutan modernitas, padahal bangsa kita belum siap dan terlebih dahulu seharusnya melakukan penyesuaian penyesuaian di dalam kehidupan masyakatnya. Bahkan Emha menyebut kondisi bangsa saat itu tidak lebih dari pelestarian terhadap relasi struktur penjajah-dijajah dalam suatu bentuk yang lebih santun.
Secara umum, catatan catatan Emha dalam buku ini menggunakan bahasa yang lugas, to the point, dan dapat dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat kita. Latar belakangnya yang berasal dari kelas sosial bawah dan pengalamannya hidup dijalanan membuat tulisan tulisan Emha benar benar hidup dalam realitas kehidupan masyarakat, tidak ada jarak antara penulis dengan pembaca. Emha menempatkan dirinya seperti seorang sahabat karib yang sedang berceloteh tentang kegusaran hatinya, kadang kadang agak sarkastik, kadang bercanda, kadang berbagi ironi namun kadang kadang justru saling memotivasi sesama kaum pinggiran. Namun pada beberapa bagian tulisan Emha kadang nampak berputar putar dengan metaforanya, saya menduga Emha sengaja memakai strategi menggunakan banyak metafor dan kisah kisah banyolan pesantrennya untuk menghindari sensor rezim saat itu, kritik kritik pedas yang dibalut dengan metafor dan kisah kisah kadang kurang dapat dimengerti namun sesungguhnya jika dicermati lebih dalam maknanya akan terungkap, disinilah kecerdikan Emha sekali lagi yang mampu ‘mengakali’ zaman sambil tetap teguh berpegang pada kebenaran yang dia yakini, kebenaran yang lahir dari lorong lorong zaman, kebenaran yang datang dari suara suara kaum pinggiran, suara dari pojok sejarah.