Judul : Muslim Tanpa Masjid : Esai Esai
Agama, Budaya, dan Politik dalam bingkai
Struktural
Transedental
Penulis :
Kuntowijoyo
Penerbit :
Mizan
Tahun Terbit : 2001
Tebal :
404 Halaman
Buku
ini merupakan kumpulan esai esai Kuntowijoyo yang tersebar dalam berbagai
makalah ilmiahnya selama periode 1990 hingga awal 2000an. Bunga rampai ini
merangkum pemikiran pemikiran Guru Besar Sejarah UGM ini tentang agama
khususnya umat Islam, kebudayaan, hingga persoalan politik. Esai esai dalam
buku ini juga menjadi semacam jawaban ilmiah sekaligus sikap begawan ilmu
sosial profetik ini dalam merespon sejumlah fenomena sosial, politik hingga
budaya yang dialami bangsa ini. Esai esai ini merupakan bentuk pertanggungjawaban
Kunto terhadap mahkamah sejarah atas ilmu dan kebijaksanaan yang dia miliki.
Judul
buku ini sendiri diambil dari salah satu esai dalam buku ini berjudul “Muslim
Tanpa Masjid”. Judul ini menggambarkan terjadinya fenomena sosial, budaya
bahkan politik yang dialami oleh umat Islam Indonesia. Fenomena ini adalah
kelahiran generasi muslim baru di penghujung tahun 1990an, Kunto menggambarkan
generasi muslim baru ini dengan menulis “Generasi muslim baru telah lahir
dari rahim sejarah, tanpa kehadiran sang ayah, tidak ditunggui oleh saudara
saudaranya. Kelahirannya bahkan tidak terdengar oleh muslim yang lain.
Tangisnya kalah oleh teriakan teriakan reformasi”. Begitulah Kunto membuat
metafora tentang kelahiran sebuah generasi muslim baru di kala reformasi pecah
di tahun 1998. Apa yang dimaksud Kunto sebagai “generasi muslim baru” adalah
mereka para mahasiswa yang pada tanggal 21 Mei 1998 berhasil menduduki gedung
MPR-DPR. Mereka adalah sekelompok mahasiswa yang berdemo melawan digelarnya
Sidang Istimewa untuk mengevaluasi Habibie, mereka jualah yang dengan
demonstrasi demonstrasi besarnya menentang kepemimpinan Habibie. Mereka
ternyata ‘muslim’ juga, namun mereka menentang Habibie yang notabene tokoh
Islam paling bersinar, mereka menentang keputusan Kongres Umat Islam (KUI) yang
mendukung SI, mereka telah ‘melanggar’ berbagai konsensus umat dan ‘melawan’
tokoh tokoh Islam. Siapakah sebenarnya mereka..? dari konteks sosial budaya
seperti apa mereka dibesarkan..? dan mengapa mereka bisa menjadi generasi baru
yang tidak memiliki afiliasi lagi dengan umat..? Pertanyaan pertanyaan inilah
yang dijawab Kunto secara komprehensif.
Kuntowijoyo
menjelaskan bahwa kelahiran generasi baru muslim ini adalah sebuah gejala
perkotaan. Tumbuh suburnya kelas menengah (middle class) di Indonesia
semenjak tahun 70-80an mengakibatkan sejumlah implikasi sosial, generasi yang
lahir pada periode ini adalah mereka anak anak umat yang tidak at home
lagi di tenda tenda besar umat Islam macam Organisasi Kemasyarakatan
(Muhammadiyah dan NU), dan lembaga agama tradisional lain. Tempat lahir mereka
adalah di kota kota besar dan menengah, macam Jakarta, Bandung, Medan,
Yogyakarta, Semarang dan Surabaya. Akibat industrialiasasi dan urbanisasi
mereka tercerabut dari akar sosial budayanya, mereka tidak pernah mengalami
sosialisasi keagamaan melalui institusi Islam tradisional macam madrasah,
pesantren maupun ulama ulama, sebaliknya mereka justru lebih banyak mendapat
sosialisasi agama melalui sekolah lewat Rohani Islamnya, melalui peer groupnya
hingga sumber sumber anonim lainnya seperti buku, internet, kaset, video dan
lain lain.
Singkatnya,
generasi yang ‘hilang’ dari binaan umat inilah yang akhirnya tampil menjadi
gerakan gerakan mahasiswa yang independen dari pengaruh ummat Islam, mereka
tersebar di berbagai gerakan kiri radikal semacam Forkot, SMID, LMND hingga
membentuk NGO NGO yang concern terhadap perjuangan kaum lemah dan
tertindas. Mereka Meninggalkan lembaga lembaga sosial umat, bagi mereka ormas
maupun orpol Islam tidaklah menarik lagi. Mereka adalah muslim tanpa masjid.
Selain
‘esai utama’ Muslim Tanpa Masjid dalam buku ini masih ada juga sekitar 35 esai
percikan pemikiran Kunto. Tiga puluh lima esai Kunto ini terbagi menjadi tiga
kluster, yakni esai agama, esai budaya dan terakhir esai politik. Pada kluster
esai agama Kunto banyak menjelaskan tentang problematika yang sedang dan akan
dihadapi umat Islam Indonesia. Kunto merefleksikan sekaligus membuat proyeksi
akan masa depan umat Islam berdasarkan pengalaman pengalaman sejarah, misalnya
esai berjudul “SI Putih, SI Merah dan Pembaruan Pemikiran Islam” Kunto
menjelaskan bahwa berkaca dari ‘kegagalan’ SI membaca semangat zaman di tahun
1920an dan akhirnya ‘dikalahkan’ oleh PKI, umat Islam di abad 21 akan
menghadapi tantangan pemikiran yang serupa dan harus dijawab dengan rumusan
pergerakan yang inklusif, Kunto mencontohkan bahwa SI gagal mendekati kaum
buruh dan tani disebabkan kegagalan rumusan “Sosialisme Islam” versi
Cokroaminoto, rumusan Marxisme nampak lebih meyakinkan dan memikat bagi kalangan
buruh tani. Nah, di abad 21 kegagalan SI jangan sampai terulang kembali.
Gerakan Islam harus mampu mendekat ke kelompok kelompok sosial yang
termarginalkan oleh pembangunan.
Sedangkan
dalam kluster esai politik Kunto menyoroti kekalahan demi kekalahan politik
umat Islam. Kunto menyebutkan bahwa umat terlalu terperdaya oleh perjuangan
perjuangan politik yang melelahkan namun tanpa hasil yang signifikan. Sebagai
contoh untuk menyebut kegagalan perjuangan politik umat seperti peristiwa
DI/TII, kegagalan perjuangan parlementer Masyumi, kegagalan 1998 dan masih
banyak lagi. Kunto mengajukan rumus untuk ‘meninggalkan’ gelanggang politik
praktis yang serba berorientasi pendek dan pragmatis, Kunto mewanti wanti agar
putera puteri terbaik umat tidak diarahkan ke politik semua. Kunto menganjurkan
agar putera terbaik umat mengisi ruang ruang pembangunan seperti teknologi,
riset, profesional hingga ranah kebudayaan. Menurut Kunto hal inilah yang akan
memajukan umat. Di akhir bagian Kunto membangun paradigma ilmu ilmu sosial yang
berwatak kenabian (profetik). Meski singkat, uraian Kunto tentang gagasan ilmu
sosial profetik cukup memberikan basis epistemologis bagi bangunan paradigma
yang terbilang baru dalam dunia akademis ini. Dengan pendekatan sosiologi
sejarah, dipandu cita transedental analisa Kunto sangat jernih dan tajam, buku
ini menjadi referensi wajib bagi mereka yang ingin memajukan umat Islam
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar