Senin, 24 Desember 2012

Muslim Tanpa Masjid


Judul               : Muslim Tanpa Masjid : Esai Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam bingkai
                          Struktural Transedental
Penulis             : Kuntowijoyo
Penerbit           : Mizan
Tahun Terbit    : 2001
Tebal               : 404 Halaman
Buku ini merupakan kumpulan esai esai Kuntowijoyo yang tersebar dalam berbagai makalah ilmiahnya selama periode 1990 hingga awal 2000an. Bunga rampai ini merangkum pemikiran pemikiran Guru Besar Sejarah UGM ini tentang agama khususnya umat Islam, kebudayaan, hingga persoalan politik. Esai esai dalam buku ini juga menjadi semacam jawaban ilmiah sekaligus sikap begawan ilmu sosial profetik ini dalam merespon sejumlah fenomena sosial, politik hingga budaya yang dialami bangsa ini. Esai esai ini merupakan bentuk pertanggungjawaban Kunto terhadap mahkamah sejarah atas ilmu dan kebijaksanaan yang dia miliki.
Judul buku ini sendiri diambil dari salah satu esai dalam buku ini berjudul “Muslim Tanpa Masjid”. Judul ini menggambarkan terjadinya fenomena sosial, budaya bahkan politik yang dialami oleh umat Islam Indonesia. Fenomena ini adalah kelahiran generasi muslim baru di penghujung tahun 1990an, Kunto menggambarkan generasi muslim baru ini dengan menulis “Generasi muslim baru telah lahir dari rahim sejarah, tanpa kehadiran sang ayah, tidak ditunggui oleh saudara saudaranya. Kelahirannya bahkan tidak terdengar oleh muslim yang lain. Tangisnya kalah oleh teriakan teriakan reformasi”. Begitulah Kunto membuat metafora tentang kelahiran sebuah generasi muslim baru di kala reformasi pecah di tahun 1998. Apa yang dimaksud Kunto sebagai “generasi muslim baru” adalah mereka para mahasiswa yang pada tanggal 21 Mei 1998 berhasil menduduki gedung MPR-DPR. Mereka adalah sekelompok mahasiswa yang berdemo melawan digelarnya Sidang Istimewa untuk mengevaluasi Habibie, mereka jualah yang dengan demonstrasi demonstrasi besarnya menentang kepemimpinan Habibie. Mereka ternyata ‘muslim’ juga, namun mereka menentang Habibie yang notabene tokoh Islam paling bersinar, mereka menentang keputusan Kongres Umat Islam (KUI) yang mendukung SI, mereka telah ‘melanggar’ berbagai konsensus umat dan ‘melawan’ tokoh tokoh Islam. Siapakah sebenarnya mereka..? dari konteks sosial budaya seperti apa mereka dibesarkan..? dan mengapa mereka bisa menjadi generasi baru yang tidak memiliki afiliasi lagi dengan umat..? Pertanyaan pertanyaan inilah yang dijawab Kunto secara komprehensif.
Kuntowijoyo menjelaskan bahwa kelahiran generasi baru muslim ini adalah sebuah gejala perkotaan. Tumbuh suburnya kelas menengah (middle class) di Indonesia semenjak tahun 70-80an mengakibatkan sejumlah implikasi sosial, generasi yang lahir pada periode ini adalah mereka anak anak umat yang tidak at home lagi di tenda tenda besar umat Islam macam Organisasi Kemasyarakatan (Muhammadiyah dan NU), dan lembaga agama tradisional lain. Tempat lahir mereka adalah di kota kota besar dan menengah, macam Jakarta, Bandung, Medan, Yogyakarta, Semarang dan Surabaya. Akibat industrialiasasi dan urbanisasi mereka tercerabut dari akar sosial budayanya, mereka tidak pernah mengalami sosialisasi keagamaan melalui institusi Islam tradisional macam madrasah, pesantren maupun ulama ulama, sebaliknya mereka justru lebih banyak mendapat sosialisasi agama melalui sekolah lewat Rohani Islamnya, melalui peer groupnya hingga sumber sumber anonim lainnya seperti buku, internet, kaset, video dan lain lain.
Singkatnya, generasi yang ‘hilang’ dari binaan umat inilah yang akhirnya tampil menjadi gerakan gerakan mahasiswa yang independen dari pengaruh ummat Islam, mereka tersebar di berbagai gerakan kiri radikal semacam Forkot, SMID, LMND hingga membentuk NGO NGO yang concern terhadap perjuangan kaum lemah dan tertindas. Mereka Meninggalkan lembaga lembaga sosial umat, bagi mereka ormas maupun orpol Islam tidaklah menarik lagi. Mereka adalah muslim tanpa masjid.
Selain ‘esai utama’ Muslim Tanpa Masjid dalam buku ini masih ada juga sekitar 35 esai percikan pemikiran Kunto. Tiga puluh lima esai Kunto ini terbagi menjadi tiga kluster, yakni esai agama, esai budaya dan terakhir esai politik. Pada kluster esai agama Kunto banyak menjelaskan tentang problematika yang sedang dan akan dihadapi umat Islam Indonesia. Kunto merefleksikan sekaligus membuat proyeksi akan masa depan umat Islam berdasarkan pengalaman pengalaman sejarah, misalnya esai berjudul “SI Putih, SI Merah dan Pembaruan Pemikiran Islam” Kunto menjelaskan bahwa berkaca dari ‘kegagalan’ SI membaca semangat zaman di tahun 1920an dan akhirnya ‘dikalahkan’ oleh PKI, umat Islam di abad 21 akan menghadapi tantangan pemikiran yang serupa dan harus dijawab dengan rumusan pergerakan yang inklusif, Kunto mencontohkan bahwa SI gagal mendekati kaum buruh dan tani disebabkan kegagalan rumusan “Sosialisme Islam” versi Cokroaminoto, rumusan Marxisme nampak lebih meyakinkan dan memikat bagi kalangan buruh tani. Nah, di abad 21 kegagalan SI jangan sampai terulang kembali. Gerakan Islam harus mampu mendekat ke kelompok kelompok sosial yang termarginalkan oleh pembangunan.
Sedangkan dalam kluster esai politik Kunto menyoroti kekalahan demi kekalahan politik umat Islam. Kunto menyebutkan bahwa umat terlalu terperdaya oleh perjuangan perjuangan politik yang melelahkan namun tanpa hasil yang signifikan. Sebagai contoh untuk menyebut kegagalan perjuangan politik umat seperti peristiwa DI/TII, kegagalan perjuangan parlementer Masyumi, kegagalan 1998 dan masih banyak lagi. Kunto mengajukan rumus untuk ‘meninggalkan’ gelanggang politik praktis yang serba berorientasi pendek dan pragmatis, Kunto mewanti wanti agar putera puteri terbaik umat tidak diarahkan ke politik semua. Kunto menganjurkan agar putera terbaik umat mengisi ruang ruang pembangunan seperti teknologi, riset, profesional hingga ranah kebudayaan. Menurut Kunto hal inilah yang akan memajukan umat. Di akhir bagian Kunto membangun paradigma ilmu ilmu sosial yang berwatak kenabian (profetik). Meski singkat, uraian Kunto tentang gagasan ilmu sosial profetik cukup memberikan basis epistemologis bagi bangunan paradigma yang terbilang baru dalam dunia akademis ini. Dengan pendekatan sosiologi sejarah, dipandu cita transedental analisa Kunto sangat jernih dan tajam, buku ini menjadi referensi wajib bagi mereka yang ingin memajukan umat Islam Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar