Senin, 24 Desember 2012

Membayangkan Dunia Tanpa Hukum



Berbicara mengenai wajah dunia hukum di Indonesia nampaknya belum ada yang dapat dibanggakan darinya, bahkan kita justru harus ‘prihatin’ kalo boleh meminjam bahasanya Pa Be Ye. Bagaimana mungkin tidak ‘prihatin’ wajah dunia hukum kita penuh bopeng bopeng kecurangan, manipulasi, ketidakadilan, dan intrik intrik yang selalu merugikan masyarakat bawah. Hukum di negeri kita banyak orang bilang seperti pisau, bukan dalam arti ketajaman pisau, melainkan hanya tajam ke bawah (baca : masyarakat bawah) dan tumpul tak berdaya ketika berhadapan dengan the have (baca : elit, penguasa dan white collar). Refleksi ini barangkali terlalu sarkastis dan nampak hanya melihat sisi negatif dari keadaan hukum kita sekarang, namun begitulah senyatanya keadaan di mata masyarakat biasa, masyarakat yang barangkali tidak tahu akan seperangkat KUHP atau yurisprudensi hukum formal lainnya, namun yang jelas masyarakat tahu akan makna keadilan dalam konsep hukum.
Kalau tidak percaya, tengoklah jumlah narapidana yang ada di lembaga lembaga pemasyarakatn hari ini, bisa dipastikan bahwa secara kuantitas jumlahnya terus melonjak, bahkan beberapa waktu yang lalu Mennkumham sempat mengutarakan kondisi LP kita yang semakin memprihatinkan karena kapasitas nya sudah overload. Di negara maju, kejadiannya bisa sebaliknya, penjara penjara sepi sebab ketertiban sosial bisa berjalan dengan lancar. Secara teoritik sebenarnya ‘hukum’ ada untuk menghukum (punish) orang orang yang tidak menaati keteraturaan sosial (social order) yang ada dalam masyarakat, maka logikanyaaa bila tertib sosial sudah berjalan maka sesungguhnyaaa ‘perangkat hukum’ sudah tidak dibutuhkan lagi, atau minimal kehadiran hukum hanya ada dalam wilayah yang sangat minimalis. Seperti di Kanada, dimana ketertiban sosial masyarakat nya sudah sangat tinggi, disana angka kriminalitas nya sangat rendah, rumah rumah warga tidak pernah dikunci ketika keluar rumah, fasilitas publik tetap aman meski tidak ada aparat, dan harmoni masyarakat berjalan dengan teratur. Tentu dunia seperti ini lah yang kita harapkan mewujud dalam masyarakat Indonesia, suatu dunia baru dimana sesama anggota masyarakat saling menghargai, bekerja sama dalam kebajikan, toleran, memiliki etos kerja yang tinggi, sosialitasnya tinggi, dan social order akan tercapai, semua itu terjadi terjadi bukan karena perangkat hukum yang koersif dan agresif, namun lahir dari kesadaran kemanusiaan sejati. Ini mungkin hanya akan dianggap sebagai the world without boundaries nya John Lennon, atau imaji dunia kaum anarkis macam Pierre Proudhon, Bakunin maupun Saint Simont, namun yakinlah bahwa sesunggunya imaji seperti ini hadir dalam setiap manusia dalam kadar yang berbeda beda, dan itu bukanlah sesuatu yang terlalu utopis untuk diciptakan dalam orde baru dunia ini.
Kembali ke wajah dunia hukum kita dimana semua orang sudah bersepakat bahwa koruptor adalah the number one emeny di negeri ini, atau dalam bahasa kawan saya sekarang idiom ‘koruptor’ sekarang serupa dengan ‘komunis’ di tahun 70-80an pas orde baru jaya jayanya, menunjukan betapa hinanya si pemiliki label itu. Semua orang sepakat bahwa korupsi adalah kejahatan kemanusiaan terbesar, melebihi terorisme maupun tindakan kriminal lainnya, semua orang sepakat bahwa korupsi adalah crime against humanity, semua orang sepakat bahwa korupsi adalah parasit peradaban, semua orang sepakat bahwa korupsi memiskinkan rakyat, membocorkan sepertiga anggaran nasional, menumbuhkan mentalitas culas, picik dan lebih besar lagi korupsi memotong kelahiran generasi baru yang progresif. Namun sayangnya semua orang juga sepakat bahwa korupsi hanya layak dikutuk dalam naskah naskah pidato politik, retorika retotika moral, atau bahasa bahasa hukum yang sangat tegas dalam perundang undangan dan pasal pasal itu, namun tidak hadir dalam kesadaran kebudayaan masyarakat kita, tidak hadir dalam alam pikiran setiap manusia res publica, yang harusnya memiliki kesadaran akan makna publik dalam setiap tindakannya. Coba lihatlah realitas jumlah jamaah haji kita yang terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan untuk haij mendaftar tahun ini seseorang harus menunggu lima sampai sepuluh tahun, kuota jamaah haji kita terbesar di dunia!. realitas sesungguhnya patut dipuji dalam aspek ketaatan atau semangat relijiusitas masyarakat kita yang semakin meningkat. Namun realitas ini berbalik terbalik dengan kondisi sosial ekonomi bangsa kita, koruptor nyatanya banyak berasal dari kelas menengah atas yang barangkali juga sudah banyak ber haji, ketimpangan sosial ekonomi juga tidak semakin mengecil, ini paradoks yang menyakitkan bagi sebuah peradaban. Maka tantangan persoalan hukum ke depan sesungguhnya bukan hanya dalam tataran hukum formal prosedural an sich, namun lebih besar adalah persoalan kebudayaan, persoalan kronisme peradaban kita. Jika dilacak secara historis misalkan praktik praktik korupsi sudah sudah subur sejak zaman VOC, dan korupsi lah yang menghancurkan kamar dagang terbesar Belanda ini di abad 19, setelah hinggap di VOC, korupsi merambah ke pamong pamong pegawai pemerintah kolonial, para residen, asisten residen, bupati hingga gubernemen rasanya juga sudah hapal betul praktik praktik korupsi, kolusi dan nepotism. Nepotisme misalkan bagi orang Jawa adalah sesuatu yang wajar, benar cara moral dan bahkan praktik kebudayaan yang mulia, mendahulukan dan mengutamakan kepentingan keluarga di atas orang lain bukanlah tindakan nepotis bagi alam pikiran orang Jawa, bahkan bisa jadi orang Indonesia, maka dalam konteks ini redefinisi redefinisi baru perlu dimunculkan agar tidak terjebak pada kriminalisasi praktik praktik kebudayaan. Oleh karenanya, sudah seharunsya perdebatan mengenai persoalaa hukum, kriminalitas, korupsi dan tetek bengeknya tidak direduksi sebatas pasal demi pasal dalam undang undang, melainkan harus dimulai dari grand discourses yang lebih substansial dan radikal, macam persoalan kebudayaan, peradaban dan kemanusiaan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar