Berbicara
mengenai wajah dunia hukum di Indonesia nampaknya belum ada yang dapat
dibanggakan darinya, bahkan kita justru harus ‘prihatin’ kalo boleh meminjam
bahasanya Pa Be Ye. Bagaimana mungkin tidak ‘prihatin’ wajah dunia hukum kita
penuh bopeng bopeng kecurangan, manipulasi, ketidakadilan, dan intrik intrik
yang selalu merugikan masyarakat bawah. Hukum di negeri kita banyak orang
bilang seperti pisau, bukan dalam arti ketajaman pisau, melainkan hanya tajam
ke bawah (baca : masyarakat bawah) dan tumpul tak berdaya ketika berhadapan
dengan the have (baca : elit, penguasa dan white collar).
Refleksi ini barangkali terlalu sarkastis dan nampak hanya melihat sisi negatif
dari keadaan hukum kita sekarang, namun begitulah senyatanya keadaan di mata
masyarakat biasa, masyarakat yang barangkali tidak tahu akan seperangkat KUHP
atau yurisprudensi hukum formal lainnya, namun yang jelas masyarakat tahu akan
makna keadilan dalam konsep hukum.
Kalau
tidak percaya, tengoklah jumlah narapidana yang ada di lembaga lembaga
pemasyarakatn hari ini, bisa dipastikan bahwa secara kuantitas jumlahnya terus
melonjak, bahkan beberapa waktu yang lalu Mennkumham sempat mengutarakan
kondisi LP kita yang semakin memprihatinkan karena kapasitas nya sudah overload.
Di negara maju, kejadiannya bisa sebaliknya, penjara penjara sepi sebab
ketertiban sosial bisa berjalan dengan lancar. Secara teoritik sebenarnya
‘hukum’ ada untuk menghukum (punish) orang orang yang tidak menaati
keteraturaan sosial (social order) yang ada dalam masyarakat, maka
logikanyaaa bila tertib sosial sudah berjalan maka sesungguhnyaaa ‘perangkat
hukum’ sudah tidak dibutuhkan lagi, atau minimal kehadiran hukum hanya ada
dalam wilayah yang sangat minimalis. Seperti di Kanada, dimana ketertiban
sosial masyarakat nya sudah sangat tinggi, disana angka kriminalitas nya sangat
rendah, rumah rumah warga tidak pernah dikunci ketika keluar rumah, fasilitas
publik tetap aman meski tidak ada aparat, dan harmoni masyarakat berjalan dengan
teratur. Tentu dunia seperti ini lah yang kita harapkan mewujud dalam
masyarakat Indonesia, suatu dunia baru dimana sesama anggota masyarakat
saling menghargai, bekerja sama dalam kebajikan, toleran, memiliki etos kerja
yang tinggi, sosialitasnya tinggi, dan social order akan tercapai, semua
itu terjadi terjadi bukan karena perangkat hukum yang koersif dan agresif,
namun lahir dari kesadaran kemanusiaan sejati. Ini mungkin hanya akan dianggap
sebagai the world without boundaries nya John Lennon, atau imaji dunia
kaum anarkis macam Pierre Proudhon, Bakunin maupun Saint Simont, namun yakinlah
bahwa sesunggunya imaji seperti ini hadir dalam setiap manusia dalam kadar yang
berbeda beda, dan itu bukanlah sesuatu yang terlalu utopis untuk diciptakan
dalam orde baru dunia ini.
Kembali
ke wajah dunia hukum kita dimana semua orang sudah bersepakat bahwa koruptor
adalah the number one emeny di negeri ini, atau dalam bahasa kawan saya
sekarang idiom ‘koruptor’ sekarang serupa dengan ‘komunis’ di tahun 70-80an pas
orde baru jaya jayanya, menunjukan betapa hinanya si pemiliki label itu. Semua
orang sepakat bahwa korupsi adalah kejahatan kemanusiaan terbesar, melebihi
terorisme maupun tindakan kriminal lainnya, semua orang sepakat bahwa korupsi
adalah crime against humanity, semua orang sepakat bahwa korupsi adalah
parasit peradaban, semua orang sepakat bahwa korupsi memiskinkan rakyat,
membocorkan sepertiga anggaran nasional, menumbuhkan mentalitas culas, picik
dan lebih besar lagi korupsi memotong kelahiran generasi baru yang progresif.
Namun sayangnya semua orang juga sepakat bahwa korupsi hanya layak dikutuk
dalam naskah naskah pidato politik, retorika retotika moral, atau bahasa bahasa
hukum yang sangat tegas dalam perundang undangan dan pasal pasal itu, namun
tidak hadir dalam kesadaran kebudayaan masyarakat kita, tidak hadir dalam alam
pikiran setiap manusia res publica, yang harusnya memiliki kesadaran
akan makna publik dalam setiap tindakannya. Coba lihatlah realitas jumlah
jamaah haji kita yang terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan untuk haij
mendaftar tahun ini seseorang harus menunggu lima sampai sepuluh tahun, kuota
jamaah haji kita terbesar di dunia!. realitas sesungguhnya patut dipuji dalam
aspek ketaatan atau semangat relijiusitas masyarakat kita yang semakin
meningkat. Namun realitas ini berbalik terbalik dengan kondisi sosial ekonomi
bangsa kita, koruptor nyatanya banyak berasal dari kelas menengah atas yang
barangkali juga sudah banyak ber haji, ketimpangan sosial ekonomi juga tidak
semakin mengecil, ini paradoks yang menyakitkan bagi sebuah peradaban. Maka
tantangan persoalan hukum ke depan sesungguhnya bukan hanya dalam tataran hukum
formal prosedural an sich, namun lebih besar adalah persoalan
kebudayaan, persoalan kronisme peradaban kita. Jika dilacak secara historis
misalkan praktik praktik korupsi sudah sudah subur sejak zaman VOC, dan korupsi
lah yang menghancurkan kamar dagang terbesar Belanda ini di abad 19, setelah
hinggap di VOC, korupsi merambah ke pamong pamong pegawai pemerintah kolonial,
para residen, asisten residen, bupati hingga gubernemen rasanya juga sudah
hapal betul praktik praktik korupsi, kolusi dan nepotism. Nepotisme misalkan
bagi orang Jawa adalah sesuatu yang wajar, benar cara moral dan bahkan praktik
kebudayaan yang mulia, mendahulukan dan mengutamakan kepentingan keluarga di
atas orang lain bukanlah tindakan nepotis bagi alam pikiran orang Jawa, bahkan
bisa jadi orang Indonesia, maka dalam konteks ini redefinisi redefinisi baru
perlu dimunculkan agar tidak terjebak pada kriminalisasi praktik praktik
kebudayaan. Oleh karenanya, sudah seharunsya perdebatan mengenai persoalaa
hukum, kriminalitas, korupsi dan tetek bengeknya tidak direduksi sebatas pasal
demi pasal dalam undang undang, melainkan harus dimulai dari grand
discourses yang lebih substansial dan radikal, macam persoalan kebudayaan,
peradaban dan kemanusiaan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar